Selasa, 21 Agustus 2007

Dampak Perubahan Tradisi Pertanian Orang Melayu terhadap sikap hidup masyarakat Melayu di Sumatera Timur




Pendahuluan

Mendengar nama Melayu, maka orang akan mengkaitkannya dengan stigma buruk berupa miskin, pemalas. Pada hal dalam kebudayaan etnis Melayu tidak pernah ada sedikitpun adat istiadat yang mengarahkan masyarakat pendukung budaya Melayu menjadi miskin dan malas.

Secara umum masyarakat Melayu mempunyai 5 falsafah yang berlandaskan 5 dasar, yaitu :

  1. Melayu itu Islam yang sifatnya universal, demokratis dan bermusyawarah.

  2. Melayu itu Budaya yang sifatnya nasional dalam bahasa, sastra, tari, pakaian, tersusun dalam tingkah laku dan lain-lain.

  3. Melayu itu beradat yang sifatnya regional (kedaerahan) dalam Bhineka Tunggal Ika dengan tepung tawar, balai pulut kuning dan lain-lain yang mengikat tua muda

  4. Melayu itu berturai yang tersusun dalam masyarakat yang rukun dan tertib, mengutamakan ketentraman dan kerukunan hidup yang berdampingan dengan harga menghargai, timbal balik, bebas tetapi terikat dalam masyarakat.

  5. Melayu itu berilmu artinya pribadi yang diarahkan kepada ilmu pengetahuan dan ilmu kebatinan (agama dan mistik agar bermarwah dan disegani orang untuk kebaikan umum)1

Dipakainya bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar pergaulan terutama di kalangan saudagar dan pemerintahan pada masa lalu membuktikan bahwa etnis Melayu merupakan etnis yang sangat maju dan berkembang. Dalam bidang pertanian, pada masa lalu etnis Melayu dikenal sebagi petani yang menghasilkan komoditi ekspor seperti pala, lada, pinang dan asam gelugur. Menurut Anderson dalam laporan kunjungannya ke Sumatera Timur menyatakan bahwa orang Melayu merupakan orang yang sangat rajin, tekun dan pekerja yang ulet. Dari hasil pertanian berupa komoditi ekspor dan juga padi dan palawija menjadikan mereka hidup makmur. Begitu juga Sultan sebagai penguasa dapat memetik hasil berupa pajak dari perdagangan Pala, Lada dan komoditi ekspor lainnya.2 Apabila melihat fakta-fakta di atas, jelaslah bahwa pada dasarnya masyarakat Melayu bukanlah masyarakat yang miskin dan pemalas. Namun, jika melihat kondisi masyarakat Melayu saat ini, stigma miskin dan pemalas agak sulit untuk dihilangkan. Perubahan sikap suatu masyarakat tentunya tidak saja datang begitu saja secara tiba-tiba. Ada berbagai faktor yang dapat mempengaruhinya.

Perubahan tradisi Pertanian

Tanah adalah lambang kesejahteraan bagi masyarakat melayu, adanya tanah dapat menaikkan status sosial maupun ekonomi, tetapi tanah juga dapat menimbulkan pertentangan dan perpecahan antar sesama anggota keluarga.

Salah satu ciri khas di dalam adat Melayu di Sumatera Timur adalah masalah tanah dan keterbukaannya terhadap suku-suku lain. Suku-suku lain yang dapat meleburkan diri dalam adat Melayu dapat mempunyai hak atas tanah. Keterbukaan dan sifat demokratis adat Melayu atas tanah memang tidak terlampau berlebihan. Hal ini disebabkan tersedianya tanah yang cukup luas, di samping pihak kerajaan yang menginginkan kaula yang lebih banyak untuk mempertinggi prestise kerajaan tersebut.3

Tanah pada kerajaan-kerajaan di Sumatera Timur adalah milik rakyat dan bukan Sultan. Sultan hanya berhak atas tanah itu hanya berdasarkan pendelegasian oleh rakyat.

Untuk mendapatkan hak atas tanah pada masa lalu tidaklah begitu sulit, cukup memberi tahu kepada Sultan, raja, Datuk, bahkan oleh penghulu dengan atas nama Sultan, seseorang dapat memiliki tanah asalkan setelah diukur dan dipancang batas-batas tanah langsung diolah secara terus menerus. Hak atas tanah tersebut akan hilang apabila tanah tidak diurus paling tidak selama 3 tahun atau patok-patok batas tanah telah hilang. Apabila hal itu terjadi, maka orang lain dapat saja memiliki tanah tersebut dengan proses yang sama dari awal. Sebaliknya jika tanah tersebut diolah secara benar, maka hak milik atas tanah tersebut dapat diberikan pada pemohon dengan tanda bukti berupa surat grant. Tanah-tanah yang telah mendapat surat grant menjadi milik pemohon secara turun menurun. Apabila disuatu saat pemilik tanah tersebut ingin mengalihkan hak kepemilikan tanahnya kepada orang lain dengan cara dijual, maka pemilik tanah harus memperoleh izin terlebih dahulu dari pemberi hak tanah. Selama memegang hak atas tanah tersebut pemilik diwajibkan membayar pajak dan juga biaya administrasi lainnya.4

Pada masa lalu tanah-tanah tersebut banyak ditanami tanaman komoditi ekspor, seperti Lada, Pala, Cengkeh, dan lain-lain. Selain itu juga ada pula yang menanaminya dengan padi dan palawija.

Pada penghujung abad ke-19 timbullah perubahan besar-besaran yang tidak saja menyangkut sistem perekonomian masyarakat Melayu, tetapi juga menyangkut kepentingan Sultan. Sejak keberhasilan Belanda membudidayakan tanaman tembakau melalui perkebunannya,maka sejak itulah orang-orang dari golongan eropa pada saat itu mendekati Sultan untuk mendapatkan tanah konsesi yang akan didirikan perusahan perkebunan tembakau. Untuk mendapat tanah tersebut, kaum Planters (orang eropa yang bekerja di perkebunan) melalui Pemerintah Belanda memberi kopensasi ganti rugi tahunan pada Sultan. Di samping itu Sultan juga memperoleh royalti (keuntungan) dari perusahaan-perusahaan perkebunan.

Atas pemberian tanah konsesi ini kepada pihak Belanda, tentunya yang dirugikan adalah rakyat jelata. Tidak sedikit dari mereka yang tanahnya dipakai Belanda sebagai tanah perkebunan tembakau. Tentu saja pengambil alihan tanah pertanian milik rakyat yang dilakukan Belanda menimbulkan kemarahan dari rakyat, maka timbullah pembangkangan, pembakaran kebun, sampai terjadinya pemberontakan bersenjata. Reaksi keras dari rakyat yang terkenal adalah peristiwa pemberontakan Sunggal5

Untuk mengatasi reaksi penentangan dari rakyat, pihak Belanda memberi kompensasi berupa tanah jaluran. Tanah jaluran ini merupakan tanah bekas perkebunan yang sedang dalam masa istirahat setelah panen tembakau. Dalam suatu rotasi masa tanam, perkebunan menerapkan setiap bidang tanah hanya boleh ditanami tembakau satu kali dalam delapan atau sembilan tahun. Ketika tanah perkebunan tembakau tersebut sedang tidak terpakai, maka pihak perkebunan menyerahkan tanah tersebut kepada penduduk untuk ditanami. Memang tanah jaluran ini dapat dikatakan subur dan bagus untuk ditanami berbagai macam tumbuhan, namun pihak Belanda memberikan syarat pada masyarakat penggarap untuk tidak menanami tanah tersebut dengan tanaman keras seperti Lada, Cengkeh, Pala. Mereka hanya diperbolehkan menanam tanaman semusin seperti palawija, padi dan jagung itupun hanya dalam jangka waktu satu tahun. Tahun berikutnya tanah tersebut dibiarkan kosong selama enam sampai tujuh tahun untuk kemudian dipersiapkan menjadi lahan perkebunan tembakau kembali.

Dengan kebijaksanaan seperti ini, maka secara tidak langsung pihak penguasa telah merubah tradisi pertanian pada masyarakat Melayu dari petani tanaman komoditi ekspor menjadi petani padi dan palawija. Perubahan tersebut di atas tentunya membawa dampak bagi masyarakat baik sosial maupun budaya.

Dampak yang terjadi

Perubahan tradisi orang Melayu dari kultur pertanian yang menghasilkan komoditi ekspor ke pertanian subsistensi yang menghasilkan padi dan palawija telah memberikan dampak budaya, ekonomi dan psikologis yang merugikan orang Melayu. Orang Melayu tidak terbiasa lagi untuk membuka hutan baru, mengolahnya menjadi tanah pertanian lada, pala, kemiri atau komoditi ekspor lainnya. Begitu juga mereka tidak lagi perlu menjelajahi lautan untuk memperdagangkan komoditi ekspor itu ke Semenanjung Melayu terutama di Deli, Langkat, dan Serdang. Mereka hanya menanti tanah bekas yang telah diolah perusahaan perkebunan tembakau. Karena itu mereka jadi “ Rakyat Penunggu”, menanti musim panen tembakau selesai, barulah mereka turun membagi-bagi tanah jaluran itu untuk menanam padi dan palawija.6

Perubahan budaya berarti perubahan pada tingkat pengetahuan (pandangan hidup dan nilai agama), sedangkan perubahan sosial adalah perubahan pada tingkat tindakan yaitu pada pranata-pranata sosial yang berlaku di masyarakat.

Pranata sosial adalah sistem hubungan antar peran yang dipunyai oleh manusia untuk aktifitas khusus manusia, seperti pranata ekonomi, pranata agama, pranata politik, pranata keluarga, pranata pendidikan, pranata kesehatan. Perubahan aturan dalam salah satu pranata dapat seja terjadi ketika terjadi perubahan lingkungan seperti akibat dari adanya akulturasi budaya, adanya benda-benda budaya dari luar dapat merubah aturan dalam salah satu pranata. Perubahan lingkungan alam dalam pranata ekonomi, dapat merubah mata pencaharian; adanya obat-obatan yang dijual dalam bentuk pil atau kapsul dapat merubah penggunaan beberapa daun dan buah-buahan untuk obat dalam pranata kesehatan dsb.

Perubahan lingkungan alam serta perubahan lingkungan fisik akan dapat merubah budaya serta lingkungan sosial yang telah ada sebelumnya. Akan tetapi perubahan-perubahan secara fisik tersebut dapat diantisipasi pergeseran dari nilai budaya yang ada dengan memahami nilai budaya dari yang ada sebelumnya, sehingga perubahan lingkungan fisik tersebut dapat dibarengi dengan pergeseran lingkungan sosial yang bersifat adaptif dari nilai budaya suatu masyarakat.

Dengan demikian jika perubahan-perubahan ekologis dapat terintegrasi ke dalam sistem budaya dan sistem sosial akan merupakan suatu inovasi, apabila unsur-unsur perubahan itu berperan sebagai faktor dinamik dalam kehidupan masyarakat dan budaya yang bersangkutan. Sebaliknya, penolakan perubahan-perubahan yang terjadi, karena perubahan tersebut bertentangan dengan pola budaya yang sudah ada, atau dianggap akan mengakibatkan perubahan yang mendasar, baik yang berkenaan dengan pandangan hidup atau nilai yang ada. Dengan demikian perubahan itu tidak akan berfungsi sebagai faktor dinamis, tetapi sebagai faktor yang mendorong terjadinya suatu inner obsseion (pembusukan dari dalam) terhadap masyarakat yang bersangkutan. Obsesi ini merupakan dampak yang muncul dalam bentuk kerancuan dan kekacauan soail, yang akhirnya dapat membawa masyarakat itu kehilangan etos (kebanggaan) budaya dan identitas dirinya.

Demikian pula yang terjadi pada masyarakat Melayu berkaitan dengan perubahan tradisi pertanian dari petani penghasil komoditi ekspor ke petani subsistensi. Perubahan sistem pertanian ini menjadi pangkal proses pemiskinan orang Melayu, baik pemiskinan kultural maupun pemiskinan ekonomi.

Dari segi kultural, orang melayu kehilangan tradisi pertanian komoditi ekspor sekaligus kehilangan tradisi maritim antara lain perdagangan antar pulau. Padahal kedua tradisi tersebut merupakan lambang etos kerja orang melayu secara keseluruhan.

Dari segi ekologis kedudukan sebagai rakyat penunggu telah menanamkan kebiasaan hidup santai, menanti lahan pertanian yang disebabkan oleh perkebunan. Kehidupan santai ini menjadikan mereka menjadi tergantung pada orang lain, apalagi hal ini ditambah dengan adanya subsidi dari Sultan berupa bantuan minyak tanah, Mesjid, dan kegiatan pendidikan, serta perlindungan secara politis dari pemerintah kolonial Belanda. Keadaan ini terus mereka jalani dengan sangat nyaman hingga masa kemerdekaan di mana kedudukan Belanda di Sumatera mulai goyah dan Belanda sudah tidak bisa lagi memberikan dukungan secara politis kepada para Sultan-sultan sebagai penguasa lokal. Keadaan ini tentunya memaksa mereka untuk mulai bersaing dengan etnis-etnis lain yang mulai berdatangan ke daerah mereka.

Usaha untuk bersaing memperebut sumber-sumber kehidupan ternyata membawa hasil yang kurang mengembirakan. Diberbagai bidang kehidupan mereka kalah bersaing dengan etnis lain yang lebih gigih.

Di sektor pertanian yang selama ini mereka kuasai ternyata mereka kalah dengan orang-orang dari Batak Toba baik dari segi teknologi pertanian yang dipakai maupun keuletan dan kelicikan orang-orang Batak Toba. Di sektor Perdagangan , pertukangan kecil dan menengah, perburuhan (jasa) tidak menarik bagi orang Melayu karena pekerjaan tersebut tidak memberikan prestise yang tinggi bagi mereka seperti halnya pada saat mereka berjaya sebagai petani dan pedagang komoditi ekspor. Usaha di bidang jasa seperti kontraktor dan perbankan memerlukan modal dan ketrampilan yang tidak dimiliki oleh kebanyakan orang Melayu. Oleh sebab itu mereka tidak memilih bidang ini sebagai sumber kehidupan. Bidang yang tersisa yang dianggap sesuai oleh mereka adalah lapangan kepegawaian pemerintahan.

Pada masa Belanda, masyarakat Melayu terutama kaum bangsawan mendapat tempat yang cukup layak di bidang kepegawaian pemerintahan. Namun, pada dasarnya tidak semua orang Melayu yang dapat menikmati keuntungan tersebut, karena dapat dikatakan hanya kaum bangsawan lah yang mendapat pendidikan yang lebih tinggi di antara kaum pribumi pada saat itu. Sehingga kelompok inilah yang berhasil mencapai karir yang cukup tinggi.

Ketika perang kemerdekaan berkobar , posisi sosio-politik kaum bangsawan Melayu mengalami perubahan yang cukup drastis. Hal ini tentunya menimbulkan suatu kejutan besar bagi masyarakat Melayu secara keseluruhan. Masyarakat yang pada mulanya sangat tergantung pada kekuatan induk semang, yakni kaum bangsawan menjadi kebingungan ketika kekuasaan induk semangnya menjadi pudar dan kemudian hilang. Hal ini dapat dikatakan seperti anak ayam kehilangan induk .

Keadaan ini diperparah oleh langkah yang diambil kaum bangsawan dengan tetap mendekati Belanda guna mencari dukungan. Keputusan tersebut tentu saja tidak menguntungkan bagi mereka dan juga masyarakat Melayu pada umumnya. Hal ini terbukti dengan terjadinya peristiwa revolusi sosial yang digerakkan kaum kiri dengan cara melakukan penangkapan dan pembunuhan kaum bangsawan melayu. Pembakaran dan perampokkan istanan-istana Sultan. Sedangkan bagi masyarakat Melayu pada umumnya, terkena dampak berupa stigma sebagai kaki tangan ataupun pengikut kaum bangsawan, sehingga seringkali ketika mereka ingin bersaing dalam merebut pekerjaan selalu kalah oleh kelompok lain dari etnis lain.. Lambat laun kedudukan masyarakat Melayu di bidang kepegawaian pemerintahan surut baik secara alamiah maupun kekuatan politis. Keadaan ini menimbulkan berbagai kekecewaan pada masyarakat melayu, bahkan banyak dari mereka yang mundur teratur sebelum bertanding.

Kekalahan demi kekalahan menghampiri masyarakat melayu dalam memperebutkan sumber-sumber kehidupan dan pada akhirnya merubah sikap mental masyarakat melayu menjadi masyarakat yang acuh tak acuh pada perubahan di sekelilingya. Perubahan besar yang ada di sekeliling mereka ditutupi oleh kebanggaan mereka sebagai pewaris negeri yang masih memiliki harta warisan-warisan leluhur yang dapat diandalakn untuk menopang kehidupan. Mereka beranggapan selama masih ada harta yang dapat dimanfaatkan mereka tidak perlu takut kekurangan. Sikap ini lambat laun menjadikan masyarakat melayu malas untuk berusaha dan ini tentunya sangat merugikan bagi mereka dalam menghadapi tantangan hidup saat ini yang membutuhkan etos kerja yang tinggi.

Penutup

Ketenaran masyarakat Melayu sebagai masyarakat yang makmur dan gagah berani dalam mengarungi samudra hilang ditelan zaman. Saat ini masyarakat melayu sering diidentikkan dengan kemiskinan dan kemalasan. Hal ini tentunya sangat disayangkan. Untuk mengembalikan harkat dan martabat masyarakat melayu seperti semula diperlukan berbagai usaha yang tulus dan konsisten dari seluruh pihak, baik pemerintah, pemuka-pemuka adat,maupun masyarakat luas.

1 Tengku H.M Lah Husny, Lintasan Sejarah Peradaban dan Budaya Melayu Pesisir Deli Sumatera Timur 1612-1950, Medan, BP Husny, 1978, hal 25-26

2 Usman Pelly, Dinamika dan Perubahan sosial, Kasus orang Melayu di Sumatera Timur, dalam Jurnal Antropologi Indonesia, No 49 Th XV 1991, Jakarta, Jurusan Antropologi Fakultas Fisip UI, 1991, hal 51

3 Rusdi Sufi, et al, Kerajaan-Kerajaan Tradisional di Sumatera Utara (1612-1950), Banda Aceh, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh, 2000, hal 30

4 Irini Dewi Wanti, Implementasi Budaya Melayu, Suatu Kajian terhdap pemukiman dan kepemilian tanah, dalam Buletin Haba No. 20, tahun 2001, Banda Aceh, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh, 2001, hal18

5 Mahadi, Sedikit Perkembangan Hak-Hak Suku Melayu atas Tanah sumatera Timur, Bandung, Alumni, 1978

6 Usman Pelly, loc. Cit.

Nilai-Nilai yang Terkandung Dalam Upacara Kematian Pada Masyarakat Suku Alas

Pendahuluan

Manusia berakal merupakan syarat mutlak bagi pendukung suatu kebudayaan, karena akal penyebab adanya kebudayaan, akal melahirkan pikir dan rasa1. Keseluruhan pikir dan rasa yang ada dalam pemikiran manusia, merupakan hal yang sangat bernilai dalam hidupnya, sebagai pedoman tertinggi atas perilakunya 2. Dengan demikian pikir dan rasa atau konsepsi-konsepsi yang ada dalam alam pikiran masyarakat ( sistem nilai budaya), tidak langsung terlihat, melainkan tercermin dan terwujud dalam pola tingkah laku, pergaulan sosial serta pemikiran masyarakat yang bersangkutan.

Nilai-nilai budaya yang menjadi ciri-ciri kehidupan suatu masyarakat biasanya terkandung di dalam sumber-sumber tertulis, lisan dan gerak. Sumber-sumber tertulis dapat berupa naskah-naskah kuno. Sumber lisan berupa cerita-cerita rakyat, sastra lisan, Sedangkan sumber gerak terwujud dalam kegiatan seperti permainan rakyat, upacara-upacara.

Upacara tradisional adalah merupakan bahagian yang tak terpisahkan dari kebudayaan, tumbuh dan berkembang secara historis pada masyarakat pendukungnya, berfungsi mengukuhkan norma-norma sosial dan nilai-nilai luhur3 . Salah satu upacara tradisional yang masih dan terus dipertahankan oleh masyarakat pendukungnya adalah upacara kematian. Banyak orang yang menganggap sepele terhadap upacara kematian. Orang lebih tertarik memperhatikan upacara daur hidup yang lain seperti upacara perkawinan. Padahal apabila kita amati dengan seksama sebagai mana yang telah diungkapkan di atas, upacara kematian juga megandung nilai-nilai luhur yang pada akhir akan diwarisi oleh para penerus pendukung kebudayaan tersebut.

Sebagaimana pula dengan masyarakat lain di belahan bumi ini, masyarakat Alas yang menempati wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, atau tepatnya di Kabupaten Aceh Tenggara juga memiliki upacara kematian.

Deskripsi Upacara

# Masa mayat di Rumah

Apabila seseorang telah dinyatakan meninggal dunia, maka salah seorang dari keluarganya cepat-cepat datang memberi tahukan kepada kepala kampung agar dapat diumumkan oleh kepala kampung kepada semua penduduk kampung bahwa dalam kampungnya ada orang yang meninggal dunia.

Orang yang meninggal ( seterus disebut mayat ) dibaringkan di tempat tidur dan ditutup dengan kain beberapa lapis tebalnya. Para pelayat yang datang membuka bagian kepala mayat untuk melihat wajah yang terakhir. Disekeliling mayat duduk beberapa orang keluarga untuk menjaganya.

Para warga kampung sewaktu mendengar pengumuman dari meunasah cepat-cepat datang ke rumah duka untuk membantu segala keperluan untuk persiapan upacara kematian. Kepala desa yang disebut pengulu4, memimpin acara. Beliau memimpin masyarakat desa mempersiapkan segala sesuatunya untuk keperluan upacara kematian.

Kaum laki-laki terutama para pemuda ada yang bertugas mengeluarkan kursi-kursi yang ada di dalam rumah ke halaman rumah untuk tempat duduk para tamu. Beberapa anak muda lainnya berkumpul di samping atau dibelakang rumah untuk membuat Keurreunda ( peti mayat ). Sedang yang lainnya mendapat tugas menggali lubang lahat (menggali kubur ). Kaum bapak dengan dipimpin oleh imam dikerahkan untuk mempersiapkan kain kafan

Di dapur para ibu sibuk dengan menanak air untuk memberikan minum kepada tamu

Anggota keluarga orang yang meninggal mempersiapkan kebutuhan proses penguburan, seperti menyediakan kain kafan, papan keurreunda beserta alat-alat pembuatnya, ramuan air badar yang terdiri dari jeruk purut, mengkur, kunyit, beras yang digiling halus. Ramuan air badar ini untuk disiram atau digosokkan pada tubuh mayat agar tidak berbau setelah mayat selesai dimandikan. Segala keperluan upacara penguburan tersebut dipersiapkan secara bersamaan agar dapat bersamaan pula selesainya. Sehingga pada saat proses penguburan tidak menemui kendala.

Dalam keluarga masyarakat Alas ada kebiasaan begitu meninggal seseorang, terus diberi tahukan kepada sanak keluarga atau kaum kerabatnya, terutama sekali untuk kerabat yang paling dekat yakni dua angkatan ke atas dan dua angkatan kebawah ego ( orang yang meninggal ). Mengenai para kerabat, mereka harus diberitahukan secara khusus dari salah satu anggota keluarga almarhum atau orang yang diutusnya. Kalau tidak hal ini akan menyebabkan keretakan hubungan kekerabatan.

Setelah segala persiapan selesai dan orang yang ditunggu telah hadir kepala kampung memberi tahukan kepada salah seorang anggota keluarga bahwa mayat sudah siap untuk dikuburkan. Karena bagi masyarakat Alas yang sebagian besar memeluk Agama Islam, mayat harus cepat-cepat dikuburkan, paling lama mayat di rumah satu hari lamanya.

Acara selanjutnya adalah membawa mayat ke sungai untuk dimandikan. Pada saat inilah anggota keluarga dan kerabat dari orang yang meninggal itu sekali lagi menangisi mayat dengan bermacam-macam tuturan kepada yang baik-baik saja yang pernah diperbuat selama mayat masih hidup.

Mengenai acara tangis-tangisan ini, dahulu sebelum adanya larangan dari para ulama setempat, masyarakat Alas pada waktu upacara kematian melakukan suatu kesenian yang disebut Ngeratap. Seni ngeratap ini merupakan kebudayaan Karo ( juga masyarakat Batak lainnya ) sehingga orang Alas sering dianggap berasal dari satu keturunan dengan orang Karo.

Sejak permulaan abad-20, yakni setelah banyak ulama menyandang paham pemurnian ajaran Islam, maka ngeratap mulai disimak kembali statusnya. Para ulama tersebut melarang keras segala bentuk ngeratap karena hal itu melambangkan keputusasaan, sedangkan Allah s.w.t adalah Maha Pengasih. Karena itu ngeratap dapat digolongkan kepada perbuatan syirik5.

# Masa Memandikan Mayat

Bagi sebagian besar masyarakat Alas, memandikan mayat biasanya dilakukan di sungai. Hal ini terkait dengan kondisi alam daerah setempat yang sangat jarang sumur, namun banyak memiliki sungai. Sehingga segala kebutuhan terhadap air diambil dari sungai.

Peserta upacara memandikan mayat terdiri dari orang yang ahli memandikan mayat, seperti imam, khatib. Mereka dibantu oleh keluarga dari orang yang meninggal itu, seperti, anaknya, wali atau anggota kerabat yang lain. Dalam upacara ini imam menjadi pemimpin pelaksanaan sampai upacara selesai. Sedangkan orang lain menjadi anggota pelaksana.

Mayat yang masih berbaring ditempat tidur tadi, diangkat dan dimasukkan ke dalam usungan. Kemudian usungan dihiasi dengan berbagai warna-warni kain yang bagus-bagus. Sebelum mayat diusung ke luar rumah anak-keluarga mengadakan mengkiran (menusuki) mayat6 melalui bawah usungan, agar mayat jangan teringat kepada anak dan keluarganya di dalam kubur nanti.

Sesudah acara menusuki oleh keluarga selesai, usungan mayat dipayungi dengan paying dan dibawa ke arah sungai.

Sesampainya mayat di sungai, usungan dengan amat perlahan-lahan diturunkan ke dalam air. Biasanya tempat yang dipilih adalah tempat yang tidak dalam airnya, kira-kira sedalam 30 cm dan waktu mayat dipangku dapat mengenai air.

Sebelum mayat diturunkan dari usungan, para keluarga yang turut memandikan mayat duduk berbaris di dalam air. Imam memberi instruksi cara-cara memandikan mayat.

Acara selanjutnya imam mengosokkan mayat dengan air badar. Setelah semua dianggap bersih, barulah imam menyiram mayat dengan air sembilan. Fungsi air ini adalah sebagai air pembersih terakhir, dan bila telah sampai sembilan kali penyiraman, maka mayat dianggap sudah bersih.

Setelah mayat bersih lalu diangkat ke atas tepi sungai pada bentangan tikar yang sudah disediakan. Imam mengambil kain kafan pembungkus mayat yang sudah disediakan. Setelah selesai pengafanan acara dilanjutkan dengan sholat jenazah.

Tempat sholat jenazah ada kalanya di tepi sungai tempat memandikan mayat dan ada pula di masjid atau meunasah. Biasanya kalau masjid atau meunasah jauh letaknya dengan temapt memandikan mayat, maka sholat jenazah dilakukan di tepi sungai tersebut. Namun, jika letak masjid atau meunasah dekat, maka sholat jenazah dilaksanakan di masjid atau meunasah tersebut.

Setelah selesai acara sholat jenazah, mayat kemudian dibawa ke tempat penguburan dengan diusung dalam peraran. Usungan mayat berada di depan dengan dipayungi oleh seseorang agar tidak terkena sinar matahari.

# Masa Penguburan Mayat

Setelah kuburan siap dan mayat telah sampai diusung ke lokasi kuburan, maka mayat diangkat dari peraran, lalu dimasukkan ke dalam kubur.

Setelah mayat dimasukkan ke dalam kubur, tali pada kepala dibuka agar mayat tidak menjadi terkurung dalam kain kafan. Kemudian ditimbun kembali dengan tanah bekas galian tadi. Dalam menimbun mayat dengan tanah dilakukan dengan hati-hati, karena ada anggapan di masyarakat Alas bahwa mayat harus diberlakukan sebagaimana orang yang masih hidup namun sudah tidak bisa berbicara lagi.

Setelah tanah ditimbun, kemudian imam mengambil dua batang geloah (batang jarak) lalu ditanam pada bagian kepala dan bagian kaki mayat dalam kuburan. Maksud penanaman batang geloah ini adalah sebagai tanda bahwa di tempat itu sudah ada kuburan ( seperti kebiasaan masyarakat Sumatera pada umumnya kuburan baru belum diberi nisan pemberian tanda ini sebagai penganti nisan sementara).

Apabila geloah sudah ditanam, lalu imam mengambil air yang sudah disediakan untuk menyiram di atas kubur. Kemudian dengan duduk bagain kepala kuburan dekat batang geloah yang di tanam tadi, imam membaca talkin dan doa penutup yang diikuti oleh hadirin.

Sesudah selesai membaca talkin, salah seorang anggota keluarga mengucapkan pidato terima kasih kepada semua yang terlibat dalam upacara tadi. Dalam pidato tersebut juga diumumkan juga pada kerabat dan warga kampung untuk dapat mengunjungi rumah orang yang meninggal itu dari malam pertama sampai dengan malam ketiga. Selesai pidato ucapan terima kasih berarti berakhir pula upacara penguburan.

# Masa takziah

Upacara takziah sering dilakukan pada setiap kematian pada masyarakat Alas. Upacara ini dilakukan sebagai peringatan bagi yang bertakziah dan juga untuk mendoakan supaya arwah si mayat mendapat tempat yang baik di sisi Allah s.w.t. Upacara takziah ini dilakukan selama tiga hari berturut-turut yakni malam pertama, malam kedua dan malam ketiga setelah upacara penguburan. Peserta takziah biasanya terdiri dari warga kampung dan beberapa kaum kerabat. Kehadiran warga kampung sesuai dengan undangan yang telah diumumkan pada saat penguburan mayat. Sedangkan kehadiran kaum kerabat pada saat ini terjadi karena adanya rasa tanggung jawab membantu kerabat.

Acara biasanya dilaksanakan setelah sholat Magrib, namun sebelumnya para ibu baik warga kampung maupun kaum kerabat dating terlebih dahulu ke rumah duka dengan membawa kue-kue ala kadarnya sebagai bahan makanan setelah selesai takziah.

Pelaksanaan acara takziah dipimpin oleh imam setelah semua undangan tiba. Acara dimulai dengan pembacaan surat Al Fatihah yang diakhiri dengan pembacaan doa. Lama tidaknya acara takziah ini tergantung panjang pendeknya bacaan takziah yang dipimpin oleh imam.

Setelah pembacaan takziah selesai, para kerabat dibantu kaum muda kampung menghidangkan makanan dan minuman sederhana pada para peserta takziah. Seusai makanan dan minuman siap dihidangkan pada seluruh peserta, salah seorang kerabat berdiri dan berpidato singkat yang intinya mempersilahkan para hadirin mencicipin hidangan ala kadarnya. Apabila acara makan minum selesai maka para hadirin dipimpin imam memohon diri pada tuan rumah untuk pulang ke rumah masing-masing. Demikianlah seterusnya sampai pada hari ketiga.

# Masa hari ke Tujuh

Upacara hari ke tujuh dilaksanakan agak lebih besar dari upacara sebelumnya. Bagi mereka yang mampu biasanya dilakukan pemtongan kerbau atau sapi. Sedangkan bagi mereka yang tidak mampu cukup dilakukan secara sederhana, namun tetap lebih besar dari upacara sebelumnya.

Sebelum upacara hari ke tujuh dilaksanakan, keluarga orang yang meninggal sibuk membuat sirih undangan yang disebut pemanggo 7 sirih ini disampaikan kepada kaum kerbat dan orang-orang yang dianggap penting untuk dating pada upacara malam ke tujuah.. Penyampaian sirih undangan dilakukan oleh salah seorang kerabat yang biasanya kaum perempuan yang dibantu seorang laki-laki.

Kaum kerabat apabila sudah mendapat sirih pemanggo, ia sibuk mempersiapkan bahan bawaan untuk dipersembahkan kepada keluarga orang yang meningggal itu. Kesibukan ini lebih-lebih bagi kerabat yang sangat dekat hubungannya. Bahan bawaan berupa limon satu lusin, kerotuum ( nasi bungkus yang dibungkus dengan daun pisang yang bentuknya bulat panjang ), lauk pauk satu susun (rantang ), kelapa ala kadarnya, telur bebek, beras ala kadarnya, dan uang8.

Pada saat penyerahan bawaan ini terdengar tutur kata adat yang sering dilakukan masyarakat Alas yang intinya adalah agar tuan rumah sudi menerima bawaan yang ala kadarnya itu. Sedangkan dari pihak tuan rumah dibalas dengan tutr kata adat yang pada intinya mengucapkan rasa terima kasih.

Malam harinya ( biasanya setelah magrib ), para undangan mulai memenuhi tempat yang telah disediakan. Setelah dirasa telah cukup banyak orang berkumpul, imam memulai acara tersebut dengan samadiah. Setelah pembacaan samadiah selesai, imam melanjtkannya dengan membaca doa.

Sesudah selesai pembacaan doa oleh imam, acara dilanjutkan dengan penentuan siapa yang bertanggung jawab terhadap ahli waris. Acara ini sering disebut dengan acara berbadas. Kalau yang meninggal itu ada meninggalkan anak laki-laki yang sudah berumur acara berbadas tidak dilakukan, karena ia dapat langsung bertanggung jawab terhadap ahli waris yang ditinggalkan. Acara berbadas ini sering dilakukan, apabila ahli waris yang ditinggalkan belum tentu identitas yang jelas siapa yang bertanggung jawab terhadap ahli waris itu.

Acara berbadas dipimpin oleh tengku imam dengan disertai oleh penghulu desa ( kepala desa ). Karena secara adat dan hukum mereka lebih mengetahuinya. Adat ada pada penghulu dan hokum ada pada tengku imam. Pada saat ini semua kerabat duduk menyaksikan acara. Tanggung jawab yang dilimpahkan ini meliputi tentang status hukum seperti bila anak yang ditinggalkan itu hendak kawin, maka yang bertanggung jawab adalah wali yang diputuskan dalam acara berbadas itu. Begitu juga tanggung jawab tersebut meliputi juga untuk membesarkan anak-anaknya, termasuk pendidikannya.

Setelah selesai acara berbadas kepada tamu masih diberikan hidangan lagi dengan minum bersama. Setelah selesai acara minum bersama seorang kerabat yang dilimpahkan tanggung jawab dalam berbadas tadi menyampaikan pidato sebagai kata penyambutan dan menutup acara malam ke tujuh ini.

# Masa Tanam Batu

Sebagaimana kuburan lain , kuburan masyarakat Alas juga memiliki batu nisan. Maksud dari pengunaan batu nisan tidak lain karena untuk sebagai tanda agar tidak mudah dilupakan orang bahwa di tanah tersebut terdapat kuburan.

Bagi masyarakat Alas penanaman batu nisan tidak langsung ditanam pada kuburan sewaktu upacara penguburan, tetapi ada waktu tertentu, yakni pada saat dilakukannya upacara tujuh hari, namun karena kesibukan keluarga, maka penanaman batu isan dilakukan sehari setelah pelaksanaan upacara tujuh hari.

Sebelum dilaksanakan upacara penanaman batu nisan, terlebih dahulu dipersiapkan batu nisan. Selain itu juga dipersiapkan pula nasi ketan kuning untuk dimakan bersama dan air yang diramu dengan irisan jeruk purut untuk disiram di atas kuburan.

Penanaman batu dilakukan pada pagi hari, dengan dipimpin oleh seorang imam. Para peserta biasanya adalah kaum kerabat, namun ada pula warga kampung yang menghadirinya. Upacara dimulai dengan penyiraman kuburan dengan air yang telah disediakan. Penyiraman ini dilaksanakan oleh imam sebanyak tiga kali dari atas kuburan ( kepala ) sampai bawah (kaki ) sambil membaca doa. Kemudian batu yang bagian atasnya telah dibungkus dengan kain putih dan disediakan dalam sebuah talam ( tapesi ) diambil oleh tengku imam serta ditanam di atas kuburan pada bagian kepala. Batu ditanam kira-kira setengah bagian dengan posisi batu yang tertutup kain berada di atas.

Setelah selesai menanam batu pada bagian kepala, tengku imam melanjutkan menanam batu pada bagian kaki kuburan. Kedua batu tersebut ditanam tidak jauh jaraknya dengan pohon geloah yang telah ditanam sebelumnya pada saat penguburan.

Sesudah selesai menanam batu, tengku imam berjongkok disamping kuburan untuk membaca doa yang diikuti oleh para hadirin. Selesai pembacaan doa, acara dilanjutkan dengan makan bersama nasi ketan kuning yang telah disediakan. Selesai makan, berarti selesai pula upacara menanam batu.

# Masa empat puluh hari

Upacara empat puluh hari merupakan acara penutup dari seluruh rangkaian upacara kematian pada masyarakat Alas. Upacara ini tidak dilakukan secara besar-besar, tetapi dilaksanakan dengan sangat sederhana.

Dalam mengundang peserta acara, tidak memerlukan sirih pemanggo, tetapi cukup dengan pemberitahuan secara lisan. Peserta upacara ini terdiri dari warga kampung dan juga kerabat yang berdekatan tempat tinggalnya.

Pelaksanaan upacara malam ke empat puluh hari tidak berbeda dengan upacara malam ke tujuh, yakni dengan pembacaan samadiah yang dipimpin oleh imam dan diakhiri dengan pembacaan doa. Kemudian acara dilanjutkan dengan kenduri makan bersama. Seusai makan bersama berarti usai pula seluruh rangkaian upacara kematian pada masyarakat Alas.

Nilai- Nilai Yang Terkandung

Seperti yang telah dibicarakan di atas, bahwa nilai-nilai suatu kebudayaan dapat tercermin dari segala aktifitas kehidupan masyarakat pendukungnya. Dengan demikian upacara kematian pada masyarakat Alas juga banyak mengandung nilai-nilai budaya yang pada akhirnya diwariskan pada generasi penerus. Adapun kandungan nilai budaya yang ada diantaranya adalah; nilai ilmu, nilai agama, nilai seni , nilai solidaritas.

Nilai Ilmu

Dalam deskripsi upacara di atas telah digambarkan bahwa pelaksanaan upacara kematian pada masyarakat Alas banyak mengandung aturan-aturan yang tentunya perlu dipelajari oleh masyarakat. Selama ini penyelenggaraan upacara kematian banyak dipimpin oleh seorang imam. Namun dalam pelaksanaanya imam menurunkan ilmunya pada masyarakat agar dapat membantu kelancaran tugasnya dalam menyelenggarakan upacara kematian seperti yang terlihat dalam hal memandikan mayat. Dengan demikian terjadi suatu pentrasferan ilmu dari seseorang yang menguasai ilmu tersebut pada orang yang belum mengetahuinya.

Nilai Agama

Telah dipahami bahwa agama adalah kepercayaan dan hubungan pada yang kudus lewat upacara, pemujaan dan pemahaman. Hubungan ini membentuk pengabdian dan ibadat, berisikan doktrin ajaran-ajaran agama. Salah satu nilai agama yang dapat diambil dalam upacara kematian adalah adanya hubungan manusia dengan penciptanya. Dimana manusia tidak lebih dari ciptaan Yang Maha Pencipta. Sehingga kapan pun Allah s.w.t menginginkan sesuatu itu terjadi, maka terjadilah sesuatu tersebut.

Nilai Seni

Nilai sebuah seni dapat diukur dengan adanya sesuatu yang indah dari hasil karya manusia. Nilai seni yang dapat ditemukan pada upacara kematian ini, misalnya ; Samadiah ( tahlilan ) yang dalam samadiah ini dibacakan doa-doa yang bertujuan untuk mendoakan agar amal dan pahala yang meninggal diterima di sisi Allah s.w.t. Dalam membaca doa terdengar irama-irama yang indah dari seni membaca Al qur’an. ; Penghiasan kain penutup usungan. Dalam membuat hiasan pada kain penutup usungan memerlukan sebuah keahlian seni tersendiri. Ada anggapan dalam kalangan masyarakat, bahwa usungan harus dihias dengan seindah mungkin untuk menandakan kebesaran orang yang meninggal.

Nilai solidaritas

Salah satu kesempatan berkumpulnya anggota kerabat amupun warga setempat adalah dalam upacara kematian. Berkumpulnya kerabat ataupun warga kampung yang terdiri dari berbagai lapisan sosial menandakan bahwa terjalinnya rasa solidaritas diantara mereka.

Nilai solidaritas diantara mereka tidak hanya diwujudkan pada kehadirannya dalam upacara kematian, tetapi juga diwujudkan dalam sebuah gerakan spontanitas berupa gotong royong dalam mempersiapkan segala sesuatu demi terlaksananya upacara kematian tersebut.

Apabila kita melihat deskripsi di atas, maka terlihat tingginya nilai solidaritas masyarakat yang tercermin pada pembagian kerja yang spontan dalam upacara kematian.

Penutup

Upacara kematian pada masyarakat Alas bukan hanya sebuah aktivitas manusia dengan manusia, tetapi lebih dari itu, yakni juga meliputi aktivitas hubungan manusia dengan kekuatan supranatural . selain itu juga upacara ini mengandung banyak nilai-nilai tradisi yang pada akhirnya nanti diturunkan pada generasi penerus.

Sebagaimana juga dengan upacara-upacara tradisi lainnya yang banyak mengalami pergeseran dan perubahan, begitu pula dengan upacara kematian yang sifatnya temporer ini. Namun, perubahan bukanlah untuk ditakuti atau ditentang, tetapi kita sebagai pendukung tradisi tersebut dapat menyikapinya dengan kearifan.

1 Sidi Gazalba, Batas Agama dan Kebudayaan ( Pendekatan rasional masalah mati), jakarta, PT Tintamas, 1978

2 Koentjaraningrat, Kebudayaan dan Mentalitas Pembangunan, Jakarta, Pt Gramedia, 1987

3 Rahayu salam, Nilai-nilai budaya yang terkandung dalam upacara daur hidup di Moncong BalangKab Gowa. (laporan hasil Penelitian), Makassar ,Balai Kajian Jarahnitra, Depdikbud 1998.

4 Zakaria ahmad, Upacara Tradisional ( upacara Kematian di Daerah Istimewa aceh ) Jakarta, Depdikbud, 1984, hlm 81


5 Bakhrum Yunus, Dkk, Struktur sastra Lisan Alas, Jakarta ; Depdikbud, 1987.

6 Ibid

7 Zakaria ahmad, Upacara Tradisional ( upacara Kematian di Daerah Istimewa aceh ) Jakarta, Depdikbud, 1984 hlm 81

8 ibid, hlm 81

PEMBAGIAN WILAYAH FISIK MASYARAKAT PAKPAK DALAM PENDEKATAN ETNOEKOLOGI

Pendahuluan

Dalam kehidupannya, manusia memiliki berbagai kebutuhan hidup guna menunjang kehidupannya. Untuk memenuhi berbagai kebutuhannya tersebut, manusia melakukan berbagai aktifitas. Aktifitas yang dilakukan manusia untuk memenuhi kebutuhannya berbeda caranya dengan hewan. Hewan dalam memenuhi kebutuhannya selalu mengandalkan insting yang tajam, sedangkan manusia tidak memiliki insting yang hebat sebagaimana hewan. Oleh sebab itu manusia mengunakan kebudayaan yang mengajarkan cara hidup.

Kebudayaan menurut pada dasarnya terdiri dari pola-pola pengetahuan, penilaian dan simbol 1. (1) Pola-pola pengetahuan disebut juga dengan pola bagi yang artinya suatu pengetahuan yang ada dikepala manusia untuk membentuk gejala sosial di alam nyata, sebagai contoh bentuk bangunan yang akan didirikan. Pola-pola bangunan telah ada dalam pengetahuan si arsitek sedangkan bentuk bangunan secara nyatanya belum terjadi. Atau dalam bentuk tindakan adalah tindakan-tindakan apa yang akan dilakukan berkenaan dengan gejala yang dihadapi.

(2) Pola-pola penilaian disebut juga dengan pola dari atau suatu gejala yang tampak nyata diberi penilaian dan dimasukkan kedalam penilaian budaya diberikan suatu pola tertentu, jadi suatu gejala yang tampak nyata diartikan dan diterjemahkan (ditafsirkan). Gejala-gejala yang tampak nyata yang ada di luar tubuh manusia dipahami dan diberi penilaian, sehingga manusia dapat memberikan penilaian atas gejala yang tampak sebagai sesuatu yang baik atau buruk, dapat dimakan atau tidak, dsb.

(3) Bentuk ketiga adalah simbol, artinya bagaimana seseorang dari kebudayaan tertentu menghubungkan antara pola pengetahuan dan pola penilaian dengan simbol-simbol tertentu, sehingga kenyataan yang ada diterjemahkan dan dipahami menurut kebudayaan tertentu. Dan ditanggapi dengan suatu tindakan tertentu berkaitan dengan gejala yang tampak tadi.

Perwujudan kebudayaan melalui pengorganisasian antara pola bagi dan pola dari yang berbentuk simbol akan tampak sebagai suatu lingkungan binaan (bisa pola permukiman, kendaraan, model-model mata pencaharian dsb). Simbol-simbol inilah yang kemudian diinternalisasikan kepada orang lain (generasi selanjutnya) agar nilai-nilai budaya yang ada menjadi terkelola dan dapat menyesuaikan dirinya dengan segala perubahan yang terjadi di lingkungan hidup yang dihadapi individu-individunya sebagai anggota masyarakat.2

Namun secara pragmatis kebudayaan adalah kebiasaan suatu masyarakat yang bermanfaat untuk mempertahankan dan mengembangkan cara hidupnya oleh karena itu, kebudayaan yang merupakan kebiasaan hidup suatu masyarakat harus membawa masyarakat kearah lebih sejahtera dan atau lebih bahagia. Kemudian kebudayaan hanya dapat membahagiakan masyarakatnya tanpa ada hubungan dengan peningkatan kesejahteraan mereka atau kadang-kadang hanya menonjol pada peningkatan kesejahteraanya tanpa secara langsung memperlihatkan kedamaian pada diri mereka. Berdasarkan pemahaman tersebut, maka kebudayaan dapat didefinisikan sebagai Keseluruhan kebiasaan manusia yang tercermin dalam pengetahuan, tindakan dan hasil karyanya sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungannya dan yang menjadi pedoman tingkah lakunya untuk mencapai kedamaian dan atau kesejahteraan hidupnya. Kebudayaan harus dapat menjadikan masyarakatnya lebih damai dan lebih sejahtera, bukan sebaliknya menjadi beban masyarakatnya. Oleh karena itu semua kebudayaan yang tidak bermanfaat untuk kedamaian (kebahagiaan) dan kesejahteraan manusia akan punah secara alamiah.3

Semua suku bangsa dan etnis di Indonesia memiliki dan terikat secara kultural maupun sosial ekonomi atas aturan dan tatanan nilai tradisional yang mengacu kepada adat dan hukum adat dengan penselarasan hukum-hukum agama atau kepercayaan . Keunggulan nilai-nilai lama yang sebagian orang dikatakan ketinggalan zaman ini telah terbukti bermanfaat bagi upaya-upaya penyelamatan lingkungan.

Untuk mengetahui pemahaman masyarakat setempat terhadap pemaknaan lingkungan sekitarnya, antropologi memiliki berbagai pendekatan yang dapat dipergunakan, diantaranya adalah pendekatan Etnoekologi.


Etnoekologi

Pendekatan etnoekologi ini pertama kali diperkenalkan oleh ahli antropologi dengan latar belakang linguistik yang kuat, yaitu Conklin. Adapun tujuan dan metode pendekatan ini banyak berasal dari etnosains, sebagaimana kita ketahui bahwa etnosains bertujuan melukiskan lingkungan sebagaimana dilihat oleh masyarakat yang diteliti 4

Dengan demikian, tujuan pendekatan etnoekologi juga berusaha melukiskan lingkungan sebagaimana lingkungan tersebut dilihat oleh masyarakat yang diteliti. Asumsinya adalah bahwa “lingkungan efektif” (effective environment), yakni lingkungan yang berpengaruh terhadap perilaku manusia, mempunyai sifat kultural. Artinya, lingkungan tersebut merupakan lingkungan fisik yang telah diinterpretasikan, ditafsirkan lewat perangkat pengetahuan dan sistem nilai tertentu. Lingkungan yang telah ditafsirkan ini juga disebut sebagai “ethnoenvironment” atau “cognized environment” merupakan bagian dari sistem budaya suatu masyarakat yang dikodifikasi dalam bahasa. Lebih lanjut, sebagaimana dikemukakan oleh Ahimsa bahwa untuk memahami lingkungan tersebut yang menjadi sistem budaya suatu masyarakat yang kemudian dikodifikasi dalam bahasa, harus mengungkapkan taksonomi-taksonomi, klasifikasi-klasifikasi yang ada dalam istilah-istilah lokal, sebab dalam taksonomi dan klasifikasi inilah terkandung pernyataan-pernyataan dan ide-ide masyarakat yang kita teliti mengenai lingkungannya. Dan klasifikasi tentang lingkungan ini berisi berbagai informasi yang penting untuk mendapatkan etnoekologi masyarakat yang diteliti. Dan ini dimaksudkan untuk dapat menebak perilaku orang dalam berbagai aktivitas yang berkaitan dengan lingkungan.

Apa yang dikemukakan oleh Ahimsa di atas, sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Anderson bahwa para etnoekologis menekankan deskripsi pada lingkungan “perceptual” atau “cognized” pada kebudayaan spesifik sebagai suatu strategi penelitian dengan maksud: pertama, “to describe what people know about nature”; kedua, “to describe how people use this knowledge to get along in the world”. Karena pendekatan etnoekologi ini merupakan salah satu pendekatan tertentu yang berbeda dengan pendekatan lainnya dalam antropologi ekologi, dengan demikian pendekatan ini mempunyai ciri tertentu yang lain dari pendekatan lainnya. Dalam hal ini, Anderson menunjukkan lima (5) ciri pendekatan etnoekologi, antara lain: (1) etnoekologi menekankan pada “perceptual environment” dan secara umum kurang memperhatikan/mempertimbangkan secara serius interaksi antara domain kognitif atau dengan hasil lingkungan efektif yang hampir atau sedikit ada hubungan interaksional dengan pendekatan modern;(2) etnoekologi dimaksudkan mendeskripsikan secara emik domain budaya, meliputi “perseptual environment”. Secara mendasar, etnoekologi bermaksud menganalisis semantik secara formal; (3)analisis etnoekologi dibatasi pada salinghubungan ekologis yang bersifat intra cultural;(4) sepanjang etnoekologi berkaitan dengan lingkungan efektif, hal ini dimaksudkan untuk melakukan evaluasi dan prediksi efek dari kemungkinan perilaku yang bervariasi dalam partisipasi lingkungan mikro, yaitu lingkungan yang sering kali dibatasi untuk masyarakat lain; (5) etnoekologi membuat suatu asumsi dengan kadar yang tinggi terhadap homogenitas dan stabilitas di dalam kategorisasi budaya.5

Pembagian lingkungan fisik masyarakat PakPak

Etnoekologi sebagai suatu pendekatan dengan tujuan, metode dan ciri-cirinya sebagaimana telah saya sebutkan di atas, juga dapat digunakan untuk mengetahui masyarakat Pakpak di Suamtera Utara dalam mengkonsepsikan hutan sebagai lingkungannya dengan sistem nilai dan pengetahuan tertentu, yang berimplikasi terhadap perilaku atau interaksi mereka dengan hutan atau lingkungannya sendiri.

Dalam pandangan atau sistem pengetahuan masyarakat, lingkungan fisik dikatagorikan sesuai dengan sistem pengetahuan kebudayaan (tradisional )mereka.

Dasar pengkategorian lingkugan fisik, baik berupa lingkungan alam ataupun lingkungan budaya (buatan manusia), kelihatannya keadaan vegetasi menjadi salah satu parameter. Tetumbuhan yang hidup di suatu wilayah tertentu dan dengan sifat tumbuh yang tersendiri, turut menentukan sifat dan keadaan wilayah itu.

Suatu areal yang ditumbuhi oleh pohon besar, rindang dan nanpak lebat, itu dinamakan Karangen (hutan). Karangen ini juga dibagi lagi oleh masyarakat Pakpak menjadi beberapa kategori, yaitu Karangen longo-longo dan Rambah ntua.

Karangen longo-longo merupakan suatu kawasan hutan yang sangat lebat, dan biasanya sudah berumur tua serta tidak pernah dimasuki oleh manusia. Dalam kawasan ini pepohonan yang tumbuh adalah pohon-pohon besar dengan daun-daunnya yang lebat. Tanah yang ada dalam kawasan ini sangat subur karena merupakan tanah basah yang diselimuti oleh dedaunan maupun dahan rontok. Dedaunan dan dahan yang rontok ini lambat laun membusuk dan melapuk yang pada akhirnya menjadi pupuk alami bagi tanah di kawasan tersebut. Oleh sebab itu berbagai tetumbuhan akan tumbuh dengan sangat subur di kawasan ini. Selain itu juga di dalam kawasan hutan ini terdapat banyak mata air yang biasanya berada pada pepohonan yang sangat lebat.

. Masyarakat Pak-pak percaya bahwa dalam hutan ini dihuni oleh suatu kekuatan yang disebut Begu (roh). Atas dasar pemikiran tersebut, mereka beranggapan bahwa kawasan karangen logo-logo ini merupakan kawasan yang dimiliki oleh Begu.Oleh sebab itu kawasan ini juga dikenal dengan nama Rambah Begu (hutan yang didiami oleh begu).

Kepemilikan begu atas karangen longo-longo mencakup bukan saja tetumbuhan, tanah dan air yang ada di sana melainkan juga termasuk seluruh hewan mulai dari yang paling kecil sampai dengan yang paling besar.

Manusia sedapat mungkin untuk tidak memasuki wilayah tersebut. Tidak diperkenankan bagi setiap orang untuk mengambil sesuatu baik itu kayu ataupun dedaunan di kawasan tersebut. Apabila ada orang yang melanggar dikhawatirkan pemiliknya akan marah dan menghukum manusia yang ada di sekitar kawasan. Berhak atau tidaknya seseorang atau sekelompok orang mengambil sesuatu yang ada di dalam hutan tergantung dari kesediaan begu sebagai pemilik hutan. Oleh sebab itu jika dengan sangat terpaksa masyarakat sekitar ingin mengambil sesuatu dari kawasan tersebut maka perlu diadakan suatu upacara keselamatan yang dimaksud untuk medapat izin dari begu.

Sehubungan dengan kepemilikan begu atas semua yang ada dalam hutan, maka dalam beberapa hal penghuni hutan itu pun memiliki sifat-sifat yang dianggap sebagai penjelmaan dari sifat-sifat begu pemiliknya. Penjelmaan sifat-sifat begu dapat berwujud ular-ular besar, harimau, rusa, dan pohon-pohon besar. Oleh sebab itu perlakuan manusiapun terhadap beberapa jenis hewan dan tumbuhan itu boleh dibilang agak luar biasa.

Orang PakPak menggelari harimau sebagai Ompung Daoh (nenek jauh). Ia dianggap dapat berpikir selain mempunyai kekuatan yang jauh melebihi kekuatan manusia. Diperkirakan kekuatan (Gegoh) seekor harimau sama dengan kekuatan 48 orang. Tetapi diyakini apabila harimau sempat memakan seseorang manusia saja, maka balasannya sampai kapanpun harimau tidak mungkin mendapat makanan apa-apa lagi. Katanya harimau juga takut atau enggan memakan manusia. Lebih-lebih harimau juga bisa melihat bekas-bekas perbuatan manusia yang melampaui kemampuannya, misalnya dalam hal memotong kayu-kayu dihutan.

Seseorang yang memasuki hutan selalu membawa golok, sambil berjalan mengarungi semak belukar, orang akan menebas atau memancung pohon-pohon kecil ataupun semak belukar yang menghadang perjalanannya. Ini namanya menaldik. Yang menyebabkan harimau takut pada manusia adalah : kemampuan manusia memotong kayu-kayu kecil dengan begitu rapi; bekas potonganya begitu rapi, rata dan runcing. Sementara harimau takut menghadapi manusia.

Hewan lain seperti rusa, bisa juga kelihatan berlaku aneh. Keanehannya, rusa bisa berganti warna dalam seketika. Malahan, tanduk yang semuala kecil bisa berubah menjadi besar dan bercabang. Menurut masyarakat setempat rusa seperti itu merupakan penjelmaan dari begu.

Begu penguasa hutan dapat juga menjelma atau menghinggapi (menempati) pohon-pohon besar. Pohon besar yang sering didiami oleh begu antara lain : pohon ara, pohon kasumpet dan pohon beringin yang hidup dekat mata-mata air di hutan atau di tempat lainnya.

Di luar kawasan karangen longo-longo terdapat kawasan hutan yang usianya relatif muda (sekitar 15 tahunan). Kawasan ini sebetulnya berupa hutan sekunder; yaitu suatu kawasan yang kembali menjadi hutan setelah dalam waktu yang lama ditinggalkan atau diistirahatkan dari kegiatan perladangan.

Di areal ini biasanya terdapat pohon-pohon besar dan tidak pernah terdapat alang-alang (rih). Menurut pengetahuan masyarakat areal ini sudah mendapat kesuburan kembali setelah hilang beberapa lama setelah menjadi areal perladangan beberapa tahun sebelumnya. Kawasan dimaksud diberi sebutan Rambah ntua.

Selain rambah ntua terdapat rambah keddep ; yaitu suatu areal yang luas ditumbuhi oleh lalang dan kayu-kayuan yang belum besar. Perihal kejadian padang alang-alang di areal itu dikatakan karena telah ditinggal orang ; tidak diladangkan lagi. Biasanya di areal ini digembalakan bermacam-macam ternak; seperti sapi, kerbau, kambing maupun kuda.

Selanjutnya ada kawasan lain, berupa aeral lahan yang di atasnya tumbuh beraneka ragam jenis tanaman budidaya. Kawasan ini dinamakan pertahuman (perladangan). Andaikan pertahuman ditanami padi, itu disebut perjuman ; sedangkan areal bekas penanaman padi tahun sebelumnya dinamakan nggala. Tetapi apabila areal lahan itu ditanamai ubi kayu atau tanaman usia muda lainnya biasanya areal berdekatan dengan pemukiman itu dinamakan pekken. Sementara, lahan yang di atasnya terdapat tanaman-tanaman keras seperti durian (terutung), kelapa (neur), jengkol (Jering) dan lain-lain dinamakan Bungus.6

Penutup

Apabila kita amati uraian di atas mengenai pembagian kawasan fisik oleh masyarakat pak-pak, maka terlihat bahwa tradisi dan pengetahuan masyarakat dengan sendirinya menjaga kelestarian hutan.

Kepercayaan masyarakat terhadap Begu (roh) pemilik hutan menjadi suatu kendali sosial yang ada pada masyarakat dalam pemanfaatan hutan. Dengan adanya kepercayaan seperti itu, masyarakat akan berpikir dua kali untuk merusak hutan yang ada di sekitarnya. Namun sebagaimana teori yang mengatakan bahwa kebudayaan akan berubah mengikuti perkembangan yang ada.

Dengan semakin pesatnya perkembangan yang terjadi pada masyarakat sekitar hutan, maka kebutuhan akan materipun semakin meningkat. Dalam rangka mengejar kebutuhan materi tersebut, kadangkala manusia melanggar berbagai pantangan adat yang dianggap sebagai penghalang. Ketika para pelangar adat tersebut dibiarkan melakukan pelanggaran, maka hal tersebut akan diikuti oleh anggota masyarakat yang lain. Pada akhirnya kebudayaan yang ada menjadi usang dan tidak bermanfaat lagi bagi masyarakat dan pada akhirnya akan hilang dengan sendirinya.

Banyak di antara anggota masyarakat sekitar hutan mulai tergoda untuk merambah hutan yang telah lama dilestarikan oleh para leluhur. Ketika pelanggaran tersebut tidak mendapat rintangan baik secara fisik maupun non fisik ( ganguan dari Begu), maka pelanggaran tersbut akan terus terjadi dan bahkan akan semakin banyak. Untuk itu perlu adanya revitalisasi budaya yang ada pada masyarakat Pak-pak. Dengan demikian masyarakat dapat mereaktualisasi pemahaman mereka terhadap hutan.

1 gertz

2 Bambang Rudito, Penataan Kembali Permukiman orang-orang Aceh Pasca Tsunami berdasarkan pada kebudayaan Aceh (khususnya daerah perkotaan, pedesaan dan di antaranya) atau Cultural Mapping, Laporan Survai Cultural Mapping, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, 2005

3 Robert Sibarani, Fungsi Bahasa Sebagai Perekat Budaya, makalah pada Temu Budaya Propinsi Sumatera Utara tahun 2002 di Brastagi, Sumatera Utara

4 Ahimsa,Putra HS, Antropologi Ekologi: Beberapa teori dan Perkembangannya dalam Masyarakat Indonesia, Alumni Bandung, Bandung,1994.

5 Muhammad Arifin, Lembo, Simpukng, dan Sipungk Klasifikasi Hutan dan Kebun Secara Tradisional Orang Dayak Benuaq, Tunjung dan Pasir di Kalimantan Timur (Suatu Studi Etnoekologi), www.ekonomirakyat.org. 2003



6 Zuraida Tanjung, Dkk, Kearifan Masyarakat Pedesaan Dalam Pemeliharaan Lingkungan Hidup Daerah Sumatera Utara,Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 1992

UPACARA PERKAWINAN MASYARAKAT TAMIANG DAN PERUBAHANNYA

Pendahuluan

Kebudayaan merupakan suatu sistem makna simbolik. Seperti dalam bahasa, kebudayaan merupakan suatu sistem semiotik yang mengandung simbol-simbol yang berfungsi mengkomunikasikan maknanya dari pikiran seseorang ke pikiran-pikiran orang lain. Kebudayaan adalah objek, tindakan atau peristiwa dalam dunia yang dapat disaksikan, dirasakan dan dipahami yang mengisyaratkan makna-makna antar pikiran angota-angoota individual masyarakat.1

Salah satu ciri dari kebudayaan adalah bahwa setiap kebudayaan selalu akan mengalami perubahan atau berada dalam proses perubahan, cepat atau lambat. Makin mendalam terjadinya kontak-kontak kebudayaan atau komunikasi gagasan-gagasan baru dari luar makin pesat berlangsungnya proses perubahan.

Berubah atau tidaknya suatu kebudayaan sangat tergantung dari dukugan masyarakat pengusung kebudayaan tersebut. Tanpa dukung dari masyarakat suatu kebudayaan akan musnah ditelan zaman.

Perubahan merupakan karakteristik semua kebudayaan, tetapi tingkat dan arah perubahannya sangat berbeda-beda menurut kebudayaan dan waktunya. Faktor –faktor yang mempengaruhi cara terlaksananya perubahan didalam kebudayan tertentu mencakup sampai seberapa jauh sebuah kebudayaan mendukung dan menyetujui adanya fleksibilitas, kebutuhan-kebutuhan kebudayaan itu sendiri pada suatu waktu tertentu; dan barang kali yang terpenting dari semuanya, tingkat kecocokan (fit) diantara unsur-unsur baru dan matrik kebudayaan yang ada.

Menarik atau tidaknya suatu kebudayaan seringkali dilihat pada faktor bermanfaat atau tidaknya suatu kebudayaan terhadap masyarakat pendukungnya. Sebagai makhluk sosial, masyarakat akan mengunakan segala instrumen yang mereka miliki termasuk kebudayaan untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Dengan demikian jika suatu kebudayaan dirasa kurang bermanfaat bagi kehidupan masyarakat, maka dengan sendirinya kebudayaan tersebut akan ditinggalkan oleh pendukungnya dan lambat laun akan musnah dengan sendirinya.

Hilang atau musnahnya suatu kebudayaan tentunya mempunyai segi positif dan negatifnya, karena belum tentu kebudayaan yang telah hilang tersebut sama sekali tidak bermanfaat bagi kehidupan masyarakat, seperti pengetahuan tradisional terhadap gejala-gejala alam yang mulai dilupakan, namun saat ini dengan adanya berbagai bencana alam, orang mulai kembali mempelajari pengetahuan tradisional tersebut guna mengurangi resiko besar akibat bencana alam.

Masyarakat Tamiang sebagai mana masyarakat lain dibelahan bumi ini mengalami berbagai perkembangan juga mengalami berbagai berubahan. Salah satu perubahan tersebut adalah upacara perkawinan.

Adat dan upacara perkawinan menjadi bagian dalam suatu sistem adat istiadat masyarakat. Selain itu juga adat dan upacara perkawinan dapat dijadikan sebagai sarana yang tepat untuk memperkokoh muatan kebudayaan yang dapat didukung oleh masyarakat bersangkutan.

Keikutsertaan masyarakat dalam menyelenggarakan upacara perkawinan merupakan perlambang adanya dukungan masyarakat dalam mempertahankan kebudayaannya.

Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa masyarakat merupakan makhluk sosisal yang terus berkembang dan mengalami perubahan. Demikian pula dengan kebudayaannya tentunya akan mengalami perubahan. Begitu pula yang terjadi pada upacara perkawinan pada masyarakat Tamiang yang mengalami perubahan dari waktu ke waktu.

Upacara Perkawinan

Pada masa lalu telah menjadi adat masyarakat Tamiang bahwa orang tua mencarikan jodoh anak mereka. Hal ini begitu menentukan karena orang tua menginginkan anaknya Kawin Berimpal, dan ini merupakan kehormatan untuk keturunan istri maupun suami.

Setelah jodoh ditetapkan biasanya dilanjutkan dengan acara peminangan yang dilakukan oleh Telangke. Selanjutnya apabila pinangan diterima oleh pihak perempuan, dilakukan ikat janji (Pertunangan) dan ditetapkan lamanya masa antara ikat janji dengan pelaksanaan perkawinan. Apabila pada masa pertunangan ini salah satu pihak ingkar janji, pihak yang ingkar tersebut didenda sesuai adat. Kalau pihak laki-laki ingkar, apa yang telah diserahkan menjadi milik perempuan. Sebaliknya apabila piahk perempuan yang ingkar janji segala pemberian pihak laki-laki harus dikembalikan dua kali dari pemberian sebelumnya.

Ketika pesta perkawinan ditetapkan, maka diadakan upacara duduk Pakat yang dihadiri oleh sanak keluarga, datuk, imam dan orang tua-tua kampung. Selanjutnya diadakan pula duduk kerja, sejak awale acare sanak keluarga dari jauh maupun dari dekat pihak ibu dan ayah mulai berkumpul. Selanjutnya adalah duduk berinai, pada malam hari berinai resmi setelah disetujui oleh wali karung dan istri datuk. Calon pengantin melaksanakan malam inai dirumah masing-masing. Terhadap calon pengantin perempuan diadakanlah mandi bersiram, berendam.

Sebelum mempelai laki-laki diantar ke rumah mempelai perempuan diadakanlah upacara ngisi batil. Selanjutnya mempelai diantar ke rumah mempelai perempuan diiringi dengan shalawat nabi. Kedatangan mempelai disambut petugas pemandu kehadiran mempelai laki-laki. Sementara rombongan pengantar dipersiapkan, pengantin tetap berada dalam barisan iringan/ rombongan pengantar. Penyambutan mempelai laki-laki ini dilaukan dengan nabor beras dan madah sambutan berupa kata-kata kiasan dari seorang laki-laki tua. Adapun madah sambutan kedatangan mempelai laki-laki adalah sebagai berikut :

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,

Doa ke Allah iringan rahmat,

Selamat sejahtera limpah karunia,

Allah pengasih Maha pemurah,

Selawat ke nabi Rasul allah,

Pemberi safa,at yaumil akhirat,

Penuntun hidup beserta berkah,

Taat ke Rasul taat ke Allah,

Unggas kedidi di atas batang

Perenjak hingap di ujung ranting,

Puas menanti peganten lah datang,

Sanak keluarga turut mengiring.

Datang tuan, sampai bisan,

Serta kaum seluruh kerabat,

Teman sejawat dan handai tolan,

Sepuluh jari juga diangkat.

Kemudian rombongan penganten laki-lai disambut oleh Pencak Silat Rencah Tebang yang bermakna :

  1. Mendirikan magligai rumah tangga berarti memulai perjalanan dan perjuangan hidup baru.

  2. Memerlukan sikap waspada, mawas diri dan pembela keluarga.

  3. Gelanggang hidup adalah petarungan membangun masa depan.

  4. Menang, kalah, berhasil, kandas adalah realita hidup, namun semua itu harus dihadapi dengan tekad pantang menyerah.

  5. Cita-cita bahagia menuntut kegigihan, ketabahan dan kesabaran. Yakin bahwa Allah s.w.t yang maha pemurah dan maha berkuasa akan selalu menolong hamba-hambanya yang senantiasa memohon keridhaan-Nya.

Rencah tebang oleh masyarakat Tamiang melambangkan perjuangan membina masa depan keluarga melalui proses yang beraturan. Proses tersebut dalam acara ini dilambangkan dengan Merecah, menebang, tunu, purun, nabur lahan. Dari perlambang tersebut kedua mempelai dituntut untuk mempunyai sikap, saling merawat, saling memperhatikan, dan saling pengertian untuk menyongsong kesuksesan disegala bidang dalam mempengaruhi hidup baru ini.

Adapun prosesi acara ini dimulai dari pintu gerbang pertama dengan cara menyambut rombongan tamu seperti yang telah diuraikan di atas. Kemudian ketika rombongan penganten memasuki gerbang kedua mereka disambut dengan shalawat Badar. Pada saat kedua belah pihak yang mewakili rombongan mempelai laki-laki dan perempuan bertemu, diadakan acara Tukar Tepak (sambil menabur beras padi yang diiringi tutur sapa). Selanjutnya digelar tari ranup lampuan/tari persembahan yang merupakan tarian adat Aceh. Setelah itu dilakukan sempena penyambutan dan menyongsong mempelai laki-laki dan kaum kerabatnya. Di dalam penyambutan kaum kerabat ini dilakukan berbalas pantun antara pemantun yang dibawa oleh pihak laki-laki dengan pemantun yang disediakan oleh pihak perempuan (tuan rumah). Acara berbalas pantun ini dapat berjalan hingga 2 jam apabila yang melakukan berbalas pantun adalah mereka yang sangat ahli.

Selesai berbalas pantun mempelai laki-laki berjalan menuju pelaminan kecil dengan diiringi marhaban. Setelah mempelai laki-laki dan mempelai perempuan duduk dipelaminan kecil, dilaksanakanlah acara makan hadap-hadapan yang juga diikuti oleh keluarga kedua mempelai, undangan khusus.

Dalam prosesi ini ada satu kegiatan dimana mempelai laki-laki dan mempelai perempuan saling berebut suatu benda di dalam suatu dulang. Biasanya benda tersebut berupa potongan daging ayam bagian kepala, sayap, paha, dan bagian lainnya.

Selesai acara makan hadap-hadapan dilanjutkan dengan acara tepung tawar sejuk serasi. Acara dilanjutkan dengan acara Turai Berbisan, yaitu acara serah terima mempelai laki-laki kepada kerabat mempelai perempuan dan dilanjutkan dengan acara Gayung bersambut yaitu kata-kata sambutan dari pihak mempelai perempuan. Setelah prosesi di atas selesai kedua mempelai diantar menuju pelaminan besar.

Pada saat mempelai laki-laki duduk, bidan pelaminan menyuruh mempelai perempuan menyembah pengantin laki-laki. Pada saat itu pengantin laki-laki menyerahkan sebentuk cincin ketangan istrinya yang dinamakan Cemetok suami di pelaminan. Kemudian kedua pengantin ditepung tawar oleh sanak keluarga.

Prosesi acara menyambut pengantin laki-laki diakhiri dengan acara Mandi berdebar, yaitu acara suka ria pada keesokan hari (pagi hari), dimana mempelaki laki-laki dan mempelai perempuan dimandikan para kerabat keluarga dengan melakukan kegiatan siram menyiram air diiringi dengan tawa riang dan aturan mainnya siapapun yang disiram tidak akan marah. Kegiatan ini memberi arti bahwa ketika mereka menempuh hidup berumah tangga maka suka dan duka dijalani bersama walaupun rintangan akan menjelma.

Perubahan yang terjadi

Perubahan merupakan suatu proses alami dari suatu masyarakat. Perubahan dalam kehidupan masyarakat dapat menuju ke arah yang positif atau dapat pula mengarah kepada kemunduran sosial budaya masyarakat yang terkena perubahan tersebut. Berkenaan dengan kemunduran setelah perubahan, koentowijoyo mengatakan ada 3 kekuatan utama yang menyebabkan kemunduran sosial budaya, yaitu industrialisasi yang telah melahirkan budaya massa yang mengarah pada semangat kolektif dalam tata nilai, urbanisasi yang telah membuat nilai-nilai komunal sebuah masyarakat runtuh atau hilang, serta teknologisasi membuat masyarakat dituntut untuk menerapkan metode teknik di segala bidang.2

Upacara Perkawinan masyarakat Tamiang mengalami beberapa perubahan sesuai dengan keadaan jamannya. Ada beberpa perubahan yang dapat dilihat dan dirasakan oleh masyarakat berkaitan dengan upacara perkawinan, diantaranya adalah :

Adanya pengurangan unsur-unsur atau bagian-bagian dari upacara seperti jarang dipergunakannya lagi upacara penyambutan calon pengantin laki-laki secara lengkap seperti ditiadakannya peragaan Pencak Silat Rencah Tebang, Berbalas pantun yang dapat menghabiskan waktu sampai 2 jam, Mandi berdebar.

Penghilang ataupun pengurangan prosesi unsur-unsur upacara perkawinan pada masyarakat Tamiang terjadi karena adanya berbagai sebab salah satunya adalah banyaknya biaya yang harus dikeluarkan suatu keluarga dalam penyelenggaraan upacara perkawinan secara lengkap.

Pelaksanaan upacara dimanapun tentunya membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Oleh sebab itu, saat ini banyak orang terutama di kota-kota besar yang melaksanakan uapacara perkawinan sekedar memenuhi kewajiban agama, atau dengan kata lain melaksanakan yang penting-penting saja seperti ijab kabul.

Demikian pula yang terjadi pada masyarakat Tamiang, banyak dari mereka yang baik secara disengaja maupun tidak dengan keterbatasan biaya menghilang beberapa unsur upacara perkawinan. Pencak Silat Rencah Tebang merupakan salah satu contoh unsur upacara perkawinan yang dalam penyelenggaraannya membutuhkan biaya yang tidak sedikit paling tidak untuk membayar pemain pencak silat rencah tebang.

Selain karena biaya, pengurangan maupun penghilangan unsur-unsur upacara perkawinan juga dipengaruhi situasi dan kondisi masyarakat pada saat itu, seperti hilangnya acara berbalas pantun yang membutuhkan keahlian pemain pantun. Untuk saaat ini di masyarakat Tamiang keahlian berpantun telah mulai susah ditemui terutama pada generasi muda.

Berbalas pantun oleh sebagian besar masyarakat Tamiang, terutama generasi muda dianggap sebagai tradisi yang telah ketinggalan jaman dan tidak dapat menghasilkan materi yang mencukupi. Oleh sebab itu saat ini dalam mencari seseorang yang dapat berbalas pantun dengan bagus agak sulit. Tanpa adanya orang yang ahli berbalas pantun tentunya dengan sendirinya unsur dari upacara perkawinan pada masyarakat Tamiang akan hilang.

Selain susah mencari orang yang ahli dalam berbalas pantun, penghilangan ataupu pengurangan unsur berbalas pantun pada upacara perkawinan masyarakat Tamiang juga disebabkan oleh lamanya waktu yang digunakan dalam pelaksanaan berbalas pantun. Jika tidak disepakati terlebih dahulu antar pemain berbalas pantun, maka acara berbalas pantun tersebut dapat memakan waktu hingga 2 jama. Hal ini tentunya kurang disukai oleh para tamu undangan yang mempunyaibanyak acar lain setelah menghadiri undangan pada upacara perkawinan tersebut.

Demikianlah uraian sikat mengenai perubahan yang terjadi pada upacara perkawinan masyarakat Tamiang.

Penutup

Perubahan suatu kebudayaan memang tidak dapat dihindari oleh siapapun. Namun bukan berarti kita sebagai pendukung kebudayaan tersebut menyerah begitu saja menghadapi perubahan yang terjadi, sebab belum tentu perubahan yang terjadi dapat membawa masyarakat pendukung kebudayaan yang mengalami perubahan menjadi lebih baik dan bahagia dari pada sebelumnya.

Untuk itu guna menghindari perubahan yang berdampak negatif diperlukan berbagai usaha penyadaran masyarakat akan pentingnya menjaga kebudayaan. Tanpa usaha yang keras dan konsisten dari masyarakat,kebudayaan yang kita bangakan akan hilang dengan sendirinya.

1 Clifford Geertz, Tafsir Kebudayaan, Yogjakarta, Penerbit Kanisius, 1992

2 Irvan Setiawan, Perubahan Pola Perkawinan Suku Bangsa Aceh di Pedesaan dalam “ Jurnal Suwa No.3,” Banda Aceh, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh, 2001