Jumat, 14 November 2008

PEMANFAATAN PERLINDUNGAN SOSIAL MASYARAKAT DALAM MEMBANTU KORBAN TSUNAMI

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Dalam menghadapi berbagai permasalahan hidup, masyarakat miskin sangat rentan terhadap resiko baik akibat faktor life cycle (kelaparan, epidemi penyakit, penuaan, dan kematian), faktor ekonomi (hancurnya sumber-sumber kehidupan, pendapatan rendah, pengangguran, fluktuasi harga bahan pokok), faktor alam (kekeringan, banjir, gempa, longsor), dan faktor sosial (masalah ketertiban, keamanan, kekerasan dan instabilitas politik).

Bencana gempa dan tsunami pada 26 Desember lalu meninggalkan berbagai persoalan hidup terutama pada para korban. Harta benda yang telah mereka kumpulkan selama ini lenyap ditelan gelombang tsunami. Lapangan kerja tempat mereka mencari nafkah hancur berantakan. Dengan kata lain, hampir semua korban bencana tersebut menjadi jatuh miskin. Dalam keadaan yang tidak berdaya ini tentunya mereka membutuhkan berbagai pertolongan untuk bertahan dalam menghadapi berbagai persoalan hidup.

Berbagai bantuan baik dalam maupun luar negeri berdatangan untuk membantu para korban tsunami. Mulai dari pengiriman relawan dalam rangka tanggap darurat ( seperti evakuasi mayat, pengobatan, pemberian makanan ) sampai pemberian bantuan berupa pembangunan sarana umum (seperti sekolah, rumah sakit, pengelolaan air bersih). Pemberian bantuan dari berbagai pihak baik dalam dan luar negeri yang diberitakan oleh berbagai media seakan-akan menghilangkan peran masyarakat Aceh sendiri dalam membantu sesama.

Peran masayarakat Aceh dalam membantu korban tsunami seakan-akan hilang dengan gegap gempitanya pemberitaan di berbagai media massa tentang pemberian bantuan. Bahkan pada saat masa tanggap darurat telah terjadi kesalah pahaman di masyarakat luar Aceh tentang peran masyarakat dalam membantu sesama. Bnayak dari mereka beranggap bahwa masyarakat Aceh tidak peduli dengan sesama, hal ini didasari oleh pengamatan mereka, diantaranya pada saat proses pengevakuasian mayat korban tsunami. Menurut pengamatan mereka orang Aceh tidak peduli dengan mayat-mayat yang bergelimpangan, pada hal sebagai seorang muslim mengurus jenazah merupakan suatu kewajiban.

Pendapat negatif masyarakat luar terhadap peran masyarakat Aceh tentu saja tidak semuanya benar. Banyak dari masyarakat Aceh yang peduli sesamanya. Mereka membantu para korban tsunami dengan tulus ikhlas. Selain itu juga dari sisi kebudayaan masyarakat Aceh memiliki sistem budaya yang mengatur masyarakat dalam menghadapi berbagai permasalahan, termasuk musibah. Masyarakat Aceh mengenal perlindungan sosial yang didalamnya meliputi tolong-menolong, gotong royong baik dalam hal suka cita maupun duka cita.

Untuk kepentingan analisa data, secara implisit penelitian tentang “Pemanfaatan Perlindungan sosial pada masyarakat Aceh bagi korban tsunami” merupakan penelitian yang mengunakan pendekatan secara kualitatif yang bersifat deskriptif analisis. Interprestasi kualitatif dilakukan dengan menggunakan metode verstehen yaitu interprestasi yang diupayakan dapat menerangkan gejala-gejala yang diamati dilapangan sesuai dengan makna yang diberikan oleh objek penelitian. Konfigurasi dari gejala-gejala sosiologi yang dipetakan dari perspektif komunitas itu sendiri.

PERLINDUNGAN SOSIAL MASYARAKAT

1. Bentuk Dan Model Penyelenggaraan Perlindungan Sosial

Perlindungan sosial pada dasarnya telah lama dikenal oleh masyarakat Indonesia termasuk Aceh. Adapun bentuk dari perlindungan sosial yang ada pada masyarakat Aceh adalah sebagai berikut :

Pemberian Melalui Perantara

Zakat

Zakat sebagai salah satu rukun Islam merupakan suatu kewajiban yang sangat penting bagi seluruh umat Islam termasuk masyarakat Aceh. Pada masyarakat Aceh membayar zakat dikenal sebagai “Buh zakeuet” yang berarti pengeluaran zakat.

Penerimaan dan pembagian zakat diatur sebaik-baiknya oleh keuchik dan teungku meunasah. Dengan demikian keuchik dan teungku meunasah dalam konteks perlindungan sosial menjadi perantara bagi masyarakat yang mampu untuk menyalurkan energinya pada masyarakat yang tidak mampu sebagai penerima (resipien) energi tersebut.

Hak Garap Tanah Wakaf

Sebagaimana yang telah diajarkan dalam agama Islam bahwa bagi mereka yang berkelebihan atau mampu diwajibkan untuk menyisihkan sebagian hartanya untuk fakir miskin dan juga bagi kepentingan sosial.

Tanah-tanah wakaf diserahkan pada Teungku Meunasah dan Keuchik yang kemudian dilaporkan ke tingkat yang lebih tinggi untuk dicatat sebagai tanah wakaf desa

Iuran Kematian

Sebagai manusia yang taat akan perintah agama, masyarakat Aceh pada umumnya sadar bahwa manusia hidup di dunia ini hanyalah untuk sementara. Bentuk dari ansuransi sosial tersebut salah satunya adalah menghimpun uang, barang maupun tenaga dari seluruh warga untuk disalurkan pada saat terjadi musibah kematian. Ansuransi ini sering disebut Uang Kematian atau Iuran Kematian.

Sebagai sebuah ansuransi sosial, iuran kematian atau uang kematian ini hasilnya akan diterima oleh seseorang atau suatu keluarga apabila ia telah memberi uang, barang atau jasa pada penyelenggara sebagai premi. Jika seseorang atau suatu keluarga tidak pernah membayar premi maka dapat dipastikan orang atau keluarga tersebut tidak akan mendapatkan hak dari ansuransi tersebut.

Pemberian secara langsung

Masyarakat Kemukiman Gani memiliki berbagai macam bentuk penyaluran energi dengan cara sumber aktif mencari penerima energi diantaranya dapat kita lihat pada uraian di bawah ini .

Tolong Menolong antar warga masyarakat

Manusia dikatakan sebagai makhluk sosial, oleh sebab itu dalam kehidupannya manusia tidak akan bisa lepas berhubungan dengan manusia lain terutama para tetangga. Dalam menjalin hubungan antar tetangga, masyarakat Aceh mengenal istilah “ Toë djak meudjak, djeu ốh weuëh muweuëh”. Maksudnya adalah jika berdekatan kunjung mengunjungi, dan bila berjauhan berkasih-kasihan. Dari istilah ini tergambarkan bahwa masyarakat Aceh selalu ingin hidup rukun dengan sesamanya.

Ada beberapa bidang kehidupan yang sangat kental terlihat aktivitas tolong menolong pada masyarakat Aceh diantaranya adalah :

Bidang Mata Pencarian Hidup

Dalam bidang mata pencaharian, masyarakat Kemukiman Gani yang sebagian besar adalah petani tentunya tidak terlepas dari sifat tolong-menolong. Jika masa lalu sebelum berkembangnya sistem dan teknologi pertanian , masyarakat Aceh mengerjakan sawahnya sejak menyebar benih, sampai panen dilakukan secara bersama-sama. Pekerjaan yang sangat membutuhkan pertolongan orang lain terlihat pada saat menanam padi dan panen. Bidang Kemasyarakatan

Berkaitan dengan aktivitas tolong menolong dalam kemasyarakatan masyarakat Kemukiman Gani mengenal istilah kerja udep dan kerja matee. Dimana kerja udep merupakan suatu aktivitas tolong menolong yang berkaitan dengan suka cita seperti hajatan perkawinan, khitanan, kenduri dan lain-lain sebagainya. Sedangkan kerja matee berkaitan dengan penyelengaraan upacara kematian.

Tolong- Menolong Antar Kerabat

Kerjasama tolong menolong antar kerabat dalam masyarakat pedesaan di Aceh Besar didasarkan pada dua hal; yakni sifat dasar manusia yang berusaha untuk saling tolong menolong, serta adanya kewajiban untuk menjaga martabat kaum kerabat. Atas dasar menjaga martabat kaum kerabat inilah, maka tolong menolong antar kaum kerabat sangat tinggi nilainya. Bagi masyarakat Aceh jika salah seorang diantara anggota kerabat mendapat malu, berarti pula seluruh anggota kaum kerabat tersebut ikut terkena aib. Oleh karena itu merupakan sebuah kewajiban bagi seluruh anggota kaun kerabat membantu kerabat yang lain.

Pemanfaatan Perlindungan Sosial bagi korban tsunami

Masyarakat Korban tsunami pada saat hari pertama berusaha menghindar ke daerah dataran tinggi, salah satunya adalah daerah Blang Bintang, Aceh Besar. Hampir sebulan lamanya sepanjang jalan ke arah Blang Bintang terdapat posko-posko pengungsi termasuk daerah Gani.

Kemukiman Gani yang wilayahnya sebagian besar berada di pingir jalan ke arah Bandara Blang Bintang juga mendirikan posko pengungsian di sebuah bangunan sekolah SD. Posko tersebut dibentuk oleh masyarakat setempat terutama kaum muda guna memberi pertolongan sekedarnya pada korban tsunami. Selain membentuk posko pengungsi, masyarakat juga menampung korban-korban tsunami di rumah-rumah penduduk.

Biasanya korban tsunami yang ditampung di rumah-rumah penduduk adalah kerabat dari penghuni rumah tersebut. Sedangkan korban tsunami yang ditampung di posko-posko pengungsian biasanya orang luar yang tidak memiliki kerabat di daerah Gani.

Pertolongan yang diberikan masyarakat Gani kepada korban tsunami yang berada di posko pengunsian dengan yang berada di rumah-rumah penduduk, memang sangat berbeda. Mereka yang berada di posko pengunsian mendapat bantuan ala kadarnya dari penduduk, tapi buka berarti menelantarkan para korban tersebut. Masyarakat terutama kaum muda mengumpulkan bantuan baik dengan mengedarkan kotak-kotak sumbangan ke rumah-rumah penduduk, juga mencari bantuan ke posko bantuan pengungsian yang pada saat itu berada di Bandara Blang Bintang.

Sedangkan para korban tsunami yang berada di rumah-rumah penduduk merupakan tanggung jawab penghuni rumah. Dalam budaya masyarakat Aceh tamu apalagi itu kerabat yang sedang kesusahan wajb dilindungi dan dilayani dengan sepenuh hati. Mereka memberikan apapun pada korban tsunami yang berada di rumah mereka guna membantu para korban tersebut. Tidak jarang dari para korban tersebut diberikan sebidang tanah ataupun bangunan yang dapat ditempati sementara oleh mereka sampai mereka mampu berdiri sendiri atau pulang ke rumahnya.

Selain itu kebutuhan hidup sehari-hari abik makanan maupun pakaian para korban tsunami ditanggung sepenuhnya oleh penghuni rumah yang masih kerabat. Namun biasanya pemberian keperluan hidup ini tidak berjalan lama, karena sebagaimana kebiasaan masyarakat Aceh yang sangat malu apabila dibantu terus menerurs oleh orang lain walaupun yang membantu tersebut adalah kerabatnya. Oleh sebab itu, untuk mengatasi hal ini kerabat yang menolong korban tsunami mencari jalan keluar yang salah satunya adalah dengan cara meminjamkan sebidang lahan untuk digarap kerabatnya untuk membiayai hidup sampai dia mampu untuk mandiri.

Kendala Pemanfaatan Perlindungan Sosial sebagai Sumber Daya

Pemanfaatan perlindungan sosial oleh masyarakat Kemukiman Gani bukan suatu hal yang tidak mungkin, karena dasar dari perlindungan sosial tersebut adalah adanya sifat kedermawanan dan sifat resiprosikal yang dimiliki oleh masyarakat. Dengan terpeliharanya kedua sifat tersebut menjadi modal bagi masyarakat untuk memanfaatkan dan memperluas sistem perlindungan sosial yang ada.

Dalam kenyataan yang ada, sering kali orang-orang yang memanfaatkan sumberdaya perlindungan sosial tersebut melakukannya secara menyimpang dari norma-norma yang ada. Pada akhirnya terjadilah penolakan-penolakan yang pada gilirannya akan menumpulkan sifat kedermawanan seseorang. Hal ini merupakan sebuah kendala yang banyak terjadi terutama pada negara-negara miskin dan berkembang yang tingkat korupsinya cukup tinggi seperti Indonesia.

Di Indonesia, sifat kedermawanan masyarakat mulai tergerus oleh banyaknya penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan oleh sebagian masyarakat terutama mereka yang pandai memanfaatkan sifat kedermawanan dari masyarakat. Sebagai contoh; banyaknya para pengemis yang terkoordinir di jalan-jalan raya kota-kota besar di Indonesia yang meminta-minta dengan sedikit memaksa.. Contoh lainya adalah banyaknya kasus penyelewengan dana bantuan kemanusiaan yang dilakukan oleh sebagian oknum, baik pemerintah maupun swasta. Tentu saja hal ini jika terus menurus terjadi akan menghapus sifat kedermawanan masyarakat dan pada akhirnya merupakan kendala bagi pemanfaatan sumberdaya perlindungan sosial.

Kendala berikutnya adalah tidak adanya stimulan baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dalam pengembangan sistem perlindungan sosial yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat terutama dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat. Stimulan tersebut dapat berupa pemberian modal dan pelatihan manajemen bagi pembentukan lembaga-lembaga yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat seperti koperasi, Bank Perkriditan Rakyat dan sebagainya.

Seperti kita ketahui bahwa kebanyakan masyarakat Indonesia masih memerlukan pemberian contoh teladan dari para pejabat yang dapat menumbuhkan kembali kepercayaan masyarakat dalam menyalurkan sifat kedermawanannya pada suatu lembaga yang terkoordinir. Sebagaimana kita ketahui bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia masih menjalankan sistem patron klein termasuk pada masyarakat Aceh. Dengan sistem seperti ini masyarakat sering kali menunggu inisiatif ataupun contoh dari orang atau lembaga yang menjadi patronnya ( dalam hal ini para pejabat). Oleh sebab itu stimulan dari para pejabat berwenang sangat besar pengaruhnya dalam pengembangan pemanfaatan perlindungan sosial.

Penutup

1. Kesimpulan

Masyarakat Aceh khususnya masyarakat Kemukiman Gani telah lama memiliki sistem perlindungan sosial, namun mereka tidak menyadari bahwa aktivitas yang selama ini mereka jalani termasuk dalam perlindungan sosial.

Ada beberapa aktivitas sosial masyarakat Kemukiman Gani yang termasuk ke dalam sistem perlindungan sosial yang terbagi ke dalam dua kategori yakni pemberian melalui perantara dan pemberian langsung. Adapun yang termasuk dalam pemberian dengan perantara adalah : Zakat, Hak Garap Tanah Wakaf , dan Iuran Kematian. Sedangkan yang termasuk ke dalam pemberian langsung adalah : Tolong-menolong antar tetangga dan tolong menolong antar kerabat.

Pemanfaatan sistem perlindungan sosial yang ada pada masyarakat pada korban tsunami terasa belum maksimal. Hal ini terjadi karena beberapa kendala, terutama adalah ; kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap individu maupun kelompok yang mengkoordinasi pengumpulan dan penyaluran energi terutama dibidang dana sosial, serta tidak adanya stimulan baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dalam pengembangan sistem perlindungan sosial yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.

V.2 Saran

Untuk memanfaatkan sistem perlindungan sosial yang ada pada masyarakat secara optimal perlu kiranya menghapus hambatan-hambatan yang ada. Oleh karena itu perlu dilakukan beberapa langkah, yakni :

    1. Para pejabat, baik dari yang memiliki kekuasaan yang sangat besar sampai yang mengaku memiliki kekuasaan memberikan contoh suri tauladan bagi masyarakat dalam meningkatkan kepedulian terhadap sesama.
    2. Adanya stimulan dari pemerintah guna memacu perkembangan pemanfaatan sistem perlindungan sosial yang ada pada masyarakat oleh masyarakat dalam bentuk pemberian modal dan dukungan manajemen bagi pelaksanaan lembaga-lembaga swadaya masyarakat. Sehingga masyarakat mampu melindungi dirinya dari berbagai permasalahan yang ada.

Selasa, 04 November 2008

http://www.2shared.com/file/4213904/b506c3f7/LG_KOTA_1.html

Jumat, 31 Oktober 2008

Abstrak Promosi Galeri NAsional Indonesia

Minimnya jumlah pengunjung di berbagai museum di Indonesia termasuk Galeri Nasional Indonesia (seterusnya disingkat GNI) menjadi suatu keprihatinan kita bersama. Atas dsar itu diadakan penelitian mengenai Pengaruh Promosi Terhadap Minat Masyarakat Mengunjungi GNI. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganilisis pelaksanaan promosi yang dilakukan GNI dan menghasilkan model promosi yang ideal bagi GNI.

Dengan mengunakan metode survai yang bersifat deskriptif analisis, dengan sampel responden sebanyak 40 orang yang merupakan pengunjung GNI dan analisis yang digunakan adalah analisis linear dan regresi sederhana. Ditemukan bahwa promosi yang dilakukan GNI mampu memikat perhatian masyarakat. Disisi lain, minat masyarakat untuk berkunjung ke GNI dirasakan cukup baik. Sedangkan pengaruh promosi terhadap minat masyarakat mengunjungi GNI dapat disimpulkan tergolong kuat. Dari hasil penelitian didapat menunjukkan bahwa hipotesis yang mengatakan adanya hubungan yang signifikan antara promosi dengan minat masyarakat mengunjungi GNI adalah benar.

Keberhasilan promosi yang dilakukan GNI bukan tidak mengalami kekurangan. Dari hasil penelitian yang dilakukan ditemukan terdapar beberapa kendala dalam pelaksanaan promosi di GNI, yaitu ; 1) Kurangnya dana promosi, 2) Tidak adanya staf yang khusus mengelola promosi, 3) Pelaksanaan pengunaan media promosi yang kurang tepat.. Atas temuan tersebut, maka disarankan 1) Menyediakan dana yang cukup bagi pelaksanaan promosi. dengan cara Meminta tambahan alokasi dana bagi kegiatan promosi dan mengoptimalkan kerjasama yang ada. 2) Menyediakan tenaga staf promosi dengan cara; meminta Departemen Kebudayaan dan Pariwisata sebagai lembaga atasan untuk menyediakan tenaga promosi di GNI dan meminta Departemen Kebudayaan dan Pariwisata untuk mendidik beberapa pegawai GNI untuk mempelajari promosi., 3) Mengoptimalisasi Media Promosi yang digunakan.

UPAYA PELESTARIAN GONDANG SABANGUNAN

Pendahuluan

Indonesia dikenal sebagai bangsa yang memiliki kekayaan beranekaragam budaya. Masing suku bangsa memiliki warisan budaya yang tidak ternilai harganya dan telah dikenal di seantero dunia. Namun beberapa tahun belakangan ini kebangaan terhadap kekayaan keanekaragaman budaya cukup terusik dengan banyaknya kasus pengakuan dari pihak luar terhadap kekayaan budaya Indonesia. Sebut saja sebagai contoh dibajaknya lagu rasa sayange dari Maluku sebagai suara latar website promosi pariwisata Malaysia (walaupun syairnya telah diganti sedemikian rupa), diakuinya tari Reog Ponorogo sebagai budaya Malaysia (walaupun telah berganti rupa baik nama maupun jalan cerita tari tersebut), dan terakhir adalah telah dipatenkannya motif kerajinan perak Bali oleh para pengusaha asing.

Kasus-kasus pengakuan budaya Indonesia oleh pihak asing tentunya menimbulkan reaksi yang beragam dari masyarakat Indonesia. Ada yang marah dan melakukan unjuk rasa pada pihak terkait seperti kedutaan asing maupun lembaga pemerintahan seperti DPRD dan Gubernur. Ada pula yang menyalahkan lamban dan tidak tanggapnya pemerintah dalam menangani kasuskasus tersebut, dan tidak sedikit pula yang menganggap bahwa kasus pengakuan kekayaan budaya bangsa Indonesia oleh pihak luar terkait dengan tidak pedulinya bangsa ini terhadap budaya sendiri.

Adanya pendapat bahwa ketidakpedulian bangsa Indonesia terhadap budayanya sendiri terkait dengan makin ditinggalkannya budaya asli Indonesia terutama oleh generasi muda. Masyarakat lebih bangga mengunakan budaya asing diberbagai sektor kehidupan masyarakat dibanding budaya asli Indonesia. Mulai dari makanan, permainan, hiburan sampai pola perilaku meniru budaya asing. Tidak mengherankan jika anak-anak sekarang lebih mengenal Dora, Sinchan, Power ranger dibandingkan kancil, Timun mas.

Terjadinya ketidakpedulian terhadap budaya bangsa, menurut Edi Sedyawati 1] hal ini terjadi karena ; a. tidak pernah dipahami lagi teknik dan kaidah-kaidah estetiknya, b. semata-mata dianggap kuno atau tidak patut lagi, atau tidak ngetren, dan, c. sengaja dihindari karena asosiasinya dengan system kepercayaan lama yang dianggap tidak cocok lagi dengan tata kehidupan masa kini.

Untuk mencegah makin banyaknya kasus pengakuan pihak asing terhadap kekayaan budaya Indonesia diperlukan beberapa tindakan pencegahan, salah satunya yang terpenting adalah dengan melakukan pelestarian budaya.

Pelestarian merupakan upaya keseluruhan dalam rangka menjaga eksistensi suatu kebudayaan. Berdasarkan kalimat tersebut, maka yang dilestarikan adalah eksistensi kebudayaan tersebut dan bukan ungkapan-ungkapan yang menyertainya. Dengan demikian upaya pelestarian menjadi suatu usaha yang dinamis.

Dalam pengertian pelestarian tercakup tiga rincian tindakan yaitu; perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan. Perlindungan kebudayaan merupakan segala upaya pencegahan dan penanggulangan gejala yang dapat menimbulkan kerusakan, kerugian atau kemusnahan bagi manfaat dan keutuhan sistem gagasan, sistem perilaku, dan atau benda budaya akibat perbuatan manusia ataupun proses alam.

Termasuk kedalam upaya perlindungan ini adalah perlindungan terhadap kerusakan/kepunahan dan perlindungan terhadap penggunaan yang tidak patut, tidak adil, atau tanpa hak (mis appropriation).

Pengembangan kebudayaan adalah upaya perluasan dan pendalaman perwujudan budaya, serta peningkatanmutu dengan memanfaatkan berbagai sumber dan potensi. Sedangkan pemanfaatan kebudayaan adalah upaya penggunaan perwujudan budaya untuk kepentingan pendidikan, agama, ekonomi, ilmu pengetahuan, dan lain-lain.

Dalam kaitannya dengan pemanfaatan kebudayaan ini diperlukan suatu undang-undang yang melindungi kekayaan kebudayaan Indonesia khususnya terkait dengan “Pengetahuan tradisional” (traditional Knowledge) dan “ekspresi budaya tradisional /tradisi folklore ( Traditional Cultural Expression/Expressions of Folklore). Keduanya akan menjadi undang-udang sui generis untuk mendampingi Undang-Undang Hak Cipta yang telah ada sehingga tidak adalagi kasus kekayaan budaya Indonesia yang dapat di miliki hak ciptanya oleh orang asing.2]

Upaya pelestarian kebudayaan saat ini harus perpacu dengan perubahan yang terjadi pada masyarakat. Sebagai kebiasaan suatu masyarakat yang bermanfaat untuk mempertahankan dan mengembangkan cara hidupnya, maka kebudayaan harus membawa masyarakat kearah lebih sejahtera dan atau lebih bahagia.

Berdasarkan pemahaman tersebut, kebudayaan dapat didefinisikan sebagai Keseluruhan kebiasaan manusia yang tercermin dalam pengetahuan, tindakan dan hasil karyanya sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungannya dan yang menjadi pedoman tingkah lakunya untuk mencapai kedamaian dan atau kesejahteraan hidupnya. Kebudayaan harus dapat menjadikan masyarakatnya lebih damai dan lebih sejahtera, bukan sebaliknya menjadi beban masyarakatnya. Oleh karena itu semua kebudayaan yang tidak bermanfaat untuk kedamaian (kebahagiaan) dan kesejahteraan manusia akan ditinggalkan.

Perubahan orientasi nilai budaya yang dimiliki masyarakat pendukungnya, menjadikan suatu kebudayaan semakin ditinggalkan masyarakat pendukungnya tersebut.

Gondang Sabangunan

Dalam pengertian masyarakat luar, kata gondang diartikan sebagai kesenian gendang atau perkusi khas masyarakat Batak. Sedangkan menurut tradisi Batak, kata gondang memiliki arti yang berbeda-beda sesuai dengan maksud dan tujuannya. Gondang dapat diartikan sebagai seperangkat alat musik, ensambel musik, komposisi lagu3]. Gondang dapat juga diartikan sebagai (1) menunjukkan satu bagian dari kelompok kekerabatan, tingkat usia; atau orang-orang dalam tingkatan status sosial tertentu yang sedang menari (manotor) pada saat upacara berlangsung[4

Sebagai perangkat alat musik, gondang sering disebut sebagai gondang Batak. Menurut Irfan[5] Gondang Batak sering diidentikkan dengan gondang sabangunan atau ogling sabangunan dan kadang-kadang juga diidentikkan dengan taganing ( salah satu alat musik yang terdapat di dalam gondang sabangunan). Dari pengertian itu, alat musik batak lain yang disebut gondang hasapi atau yang dikenal sebagai uning-uningan dianggap sebagai bukan gondang Batak. Padahal alat tersebut juga termasuk gondang Batak. Gondang sabangunan dan gondang hasapi digunakan dalam upacara yang berkaitan dengan religi, adat maupun upacara seremonial lainnya.

Gondang sabangunan yang oleh orang Batak juga disebut sebagai „parhohas na ualu“ terdiri dari delapan jenis instrument tradisional Batak Toba yaitu ;

1. Taganing

Dari segi teknis, instrumen taganing memiliki tanggung jawab dalam penguasaan repertoar dan memainkan melodi bersama-sama dengan sarune. Walaupun tidak seluruh repetoar berfungsi sebagai pembawa melodi, namun pada setiap penyajian gondang, taganing berfungsi sebagai "pengaba" atau "dirigen" (pemain group gondang) dengan isyarat- isyarat ritme yang harus dipatuhi oleh seluruh anggota ensambel dan pemberi semangat kepada pemain lainnya.

2. Gordang

Gordang ini berfungsi sebagai instrumen ritme variabel, yaitu memainkan iringan musik lagu yang bervariasi.

3. Sarune

Sarune berfungsi sebagai alat untuk memainkan melodi lagu yang dibawakan oleh taganing.

4. Ogung Oloan (pemiapin atau Yang Harus Dituruti)

Ogung Oloan mempunyai fungsi sebagai instrumen ritme konstan, yaitu memainkan iringan irama lagu dengan model yang tetap. Fungsi agung oloan ini umumnya sama dengan fungsi agung ihutan, agung panggora dan agung doal dan sedikit sekali perbedaannya. agung doal memperdengarkan bunyinya tepat di tengah-tengah dari dua pukulan hesek dan menimbulkan suatu efek synkopis nampaknya merupakan suatu ciri khas dari gondang sabangunan.

Fungsi dari ogung panggora ditujukan pada dua bagian. Di satu bagian, ia berbunyi berbarengan dengan tiap pukulan yang kedua, sedang di bagian lain sekali ia berbunyi berbarengan dengan agung ihutan dan sekali lagi berbarengan dengan agung oloan. Oleh karena itu musik dari gondang sabangunan ini pada umumnya dimainkan dalam tempo yang cepat, maka para penari maupun pendengar hanya berpegang pada bunyi agung oloan dan ihutan saja.

Berdasarkan hal tersebut, maka ogling oloan yang berbunyi lebih rendah itu berarti "pemimpin" atau "Yang harus di turuti" , sedang ogling ihutan yang berbunyi lebih tinggi, itu "Yang menjawab" atau "Yang menuruti". Maka dapat disimpulkan bahwa peranan dan fungsi yang berlangsung antara ogling dan ihutan dianggap oleh orang Batak Toba sebagai suatu permainan "tanya jawab"

5. Ogung Ihutan atau Ogung pangalusi (Yang menjawab atau yang menuruti).

6. Ogling panggora atau Ogung Panonggahi (Yang berseru atau yang membuat orang terkejut).

7. Ogung Doal (Tidak mempunyai arti tertentu)

8. Hesek

Hesek ini berfungsi menuntun instrumen lain secara bersama-sama dimainkan. Tanpa hesek, permainan musik instrumen akan terasa kurang lengkap. Walaupun alat dan suaranya sederhana saja, namun peranannya penting dan menentukan.

Kedelapan instrument tradisional ini merupakan lambang dari delapan mata angin (desa na ualu) yang kemudian oleh para pemain gondang sabangunan kedelapan instrument tersebut disebut Raja Na Ualu ( Raja Nan Delapan). [6]

Pada awalnya masing-masing instrument tersebut dimainkan oleh satu orang, namun karena perkembangan jaman dan semakin sulitnya mencari pemain, maka beberapa instrument dimainkan oleh seorang pemain musik seperti ogling oloan dan ogling ihutan dimainkan oleh seorang pemain. Odap sudah tidak digunakan lagi,kadang-kadang hesek juga dirangkap dimainkan oleh pemain taganing. Oleh sebab itu saat ini jumlah pemain gondang sabangunan bervariasi antar kelompok.

Para pemain gondang sabangunan oleh masyarakat Batak disebut pargonsi, sedangkan kegiatan memainkan musik gondang sabangunan itu sendiri disebut margondang (memainkan gondang).

Sebagai sebuah komposisi instrumen musik gondang sabangunan memiliki istilah yang berbeda-beda walaupun pada dasarnya memiliki arti yang sama. Menurut masyarakat Batak (terutama kaum tua), gondang sabangunan dipercaya memiliki kekuatan supranatural.

Apabila dimainkan, maka suaranya akan kedengaran sampai ke langit dan semua penari yang mengikuti alunan suara gondang sabangunan tersebut akan melompat-lompat seperti kesurupan di atas tanah atau dalam istilah orang batak disebut na tondol di tano. Sedangkan bagi pendengar lainnya suara yang keluar dari gondang dapat membuat perasaan mereka dimainkan dan terhanyut oleh suasana saat itu baik bersuka cita, sedih, dan merasa bersatu di dalam suasana kekeluargaan.

Adanya kepercayaan dari masyarakat Batak yang menganggap musik gondang sabangunan memiliki nilai yang snagat sakral, maka tidak mengherankan jika penghormatan mereka terhadap para pemusik gondang sabangunan (pargonsi) juga begitu tinggi. Para pargonsi dianggap memiliki ketrampilan khusus yang mereka dapat berdasarkan sabala dari Mulajadi Na Bolon. Selain itu juga para pargonsi dianggap mempunyai pengetahuan tentang ruhut-ruhut ni adat (aturan-aturan adat). Penghormatan masyarakat terhadap para pargonsi ini terlihat dari sebutan mereka terhadap para pargonsi. Para pemain taganing oleh masyarakat disebut dengan Batara Guru Hundul ( Dewa Batara Guru yang duduk) dan Batara Guru Manguntar untuk pemain serune. Mereka berdua dianggap sejajar dengan dewa. Masyarakat percaya dengan perantara para pargonsilah melalui suara gondang sabangunan, pujian dan permohonan yang disampaikan pada Mulajadi Na Bolon dan para dewa bawahannya didengar.

Namun seiring dengan berjalannya waktu, penghormatan masyarakat terhadap para pargonsi lambat laun mulai berkurang, terutama dengan hadirnya musik modern. Kelompok pemusik yang mengunakan alat-alat musik modern (Brass Band) lambat laun mengantikan kedudukan para pargonsi. Bahkan ada diantara masyarakat yang menyebut para pemusik modern tersebut dengan sebutan pargonsi walaupun berbeda nilainya.

Upaya Pelestarian Gondang Sabangunan

Seperti yang telah disebutkan di atas, pelestarian kekayaan budaya di Indonesia perlu segera dilakukan karena kita berlomba dengan perubahan yang ada di masyarakat. Kesenian musik Gondang Sabangunan harus bersaing dengan kehadiran alat musik modern yang lebih murah dan praktis. Selain itu juga eksistensi kesenian gondang sabangunan harus berpacu dengan semakin langkanya para pargonsi. Perlu diketahui bahwa untuk menjadi pargonsi membutuhkan persyaratan-persyaratan khusus, yaitu :

1. Harus memiliki kepandaian khusus dalam memainkan alat musik gondang sabangunan. Kepandaian ini bukanhanya didapat melalui belajar musik tetapi didapat karena bakat sejak dalam kandungan. Menurut masyarakat Batak Toba, para pargonsi harus mendapat sahala dari Mulajadi Na Bolon (Sang Pencipta) sejak ia berada dalam kandungan. Dengan kata lain para pargonsi adalah orang-orang pilihan Mulajadi Na Bolon.

2. Setelah seseorang diketahui mendapat Sahala dari Mulajadi Na Bolon (Sang pencipta), orang tersebut haruslah belajar dengan tekun terutama dari para pargonsi senior.

3.Selain pandai memainkan music, orang yang ingin menjadi pargonsi haruslah mempunyai pengetahuan tentang aturan-aturan adat ( Ruhut-ruhut ni adat). Mereka harus paham struktur adat masyarakat Batak Toba yakni Dalihan Na Tolu dan penerapannya di masyarakat.

4. Orang yang ingin menjadi pargonsi haruslah laki-laki, karena laki-laki merupakan hasil ciptaan dan pilihan pertama Mulajadi Na Bolon (Sang pencipta). Selain itu juga laki-laki dianggap lebih bebas untuk dtang kemanapun diundang.

5.Orang yang menjadi pargonsi haruslah orang dewasa. [7]

Dari persyaratan untuk menjadi pargonsi seperti yang telah diuaraikan di atas, terlihat bahwa betapa susahnya untuk menjadi pargonsi terutama adanya syarat harus memiliki atau mendapat sahala dari Mulajadi Na Bolon (sang Pencipta) yang tentunya tidak semua orang mendapatkannya.

Langkah awal untuk melakukan pelestarian Gondang Sabangunan adalah dengan melakukan pendataan yang akurat melalui penelitian yang mendalam mengenai Gondang Sabangunan, baik makna dan nilai, pelaku atau pemain Gondang sabangunan yang masih ada sampai tingkat apresiasi masyarakat terhadap gondang sabangunan. Dengan adanya data yang akurat, maka rencana pelestarian dapat dilakukan seefektif mungkin, baik perlindungan, pengembangan maupun pemanfaatanya.

Perlindungan terhadap gondang sabangunan perlu dilakukan oleh pemerintah terutama pemerintah daerah. Upaya perlindungan dapat dilakukan melalui bantuan pembinaan /finansial terhadap kelompok-kelompok pargonsi gondang sabangunan sehingga mereka dapat bersaing dengan kelompok kesenian lainnya. Selain itu juga melakukan mendorong para pejabat pemda terutama yang berasal dari Batak Toba untuk memakai atau mengunakan gondang sabangunan dalam pelaksanaan upacara adat di keluarga/kerabat masing-masing.

Pengembangan terhadap gondang sabangunan perlu dilakukan untuk mempertahankan eksistensi kesenian tersebut, diantaranya adalah dengan melakukan pelatihan atau memasukan kesenian gondang sabangunan ke dalam kurikulum sekolah sebagai muatan lokal. Usaha ini tentunya akan bertentangan dengan persyaratan untuk menjadi pargonsi yang harus mendapat Sahala dari Mulajadi Na Bolon yang berarti pula menurunkan keskaralannya.

Untuk benturan tersebut pemda beserta masyarakat perlu memikirkan untuk membagi Gondang Sabangunan menjadi beberapa jenis sebagaimana yang dilakukan masyarakat Bali. Dalam mengembangkan keseniannya. Masyarakat Bali membagi keseniannya menjadi 3 (tiga) yaitu ; kesenian tradisional yang sangat sakral dan hanya dilaksanakan pada tempat dan saat tertentu saja,,kesenian tradisional Bali yang telah mendapat sentuhan modern sehingga dapat dilaksanakan diberbagai tempat dan terakhir kesenian tradisional Bali yang telah dimodifikasi sesuai dengan tuntutan pasar pariwisata. Kesenian yang pada awalnya berlangsung selama dua jam, diringkas menjadi 30 menit untuk dipentaskan dihadapan wisatawan.

Dengan membagi gondang sabangunan menjadi beberpa jenis menjadikan keaslian gondang sabangunan tetap terpelihara dan disisi lain pelestarian dan pewarisan kesenian gendang sabangunan terus berjalan sehingga kesenian tersebut tetap eksis.

Pemanfaatan gondang sabangunan dapat diupayakan melalui jalur pendidikan, ilmu pengetahuan dan juga pariwisata.

Pemanfaatan gondang sabangunan sebagai bagian dari atraksi budaya menjadi hal yang sangat menarik dan menjadi daya tarik wisata dimana kesenian tersebut memiliki nilai keunikan tersendiri dan tidak ditemui di daerah lain.

Penutup

Upaya pelestarian kekayaan budaya bukanlah semata-mata tugas dari pemerintah tetapi juga tugas seluruh bangsa, karena kebudayaan merupakan penuntun masyarakat dalam berprilaku dan melaksanakan kehidupan. Usaha pelestarian kebudayaan sangat tergantung dari apresiasi masyarakat terhadap kesenian tersebut. Dengan adanya apresiasi yang tinggi terhadap kebudayaannya, maka dengan sendirinya upaya pelestarian kebudayaan akan mudah dilaksanakan. Sebaliknya semakin rendah apresiasi masyarakat terhadap kebudayaannya, maka semakin sulitlah usaha pelestarian kebudayaan tersebut. Dengan demikian usaha yang paling penting dalam upaya pelestarian suatu kebudayaan adalah meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap kebudayaannya dan ini tentunya merupakan usaha yang cukup berat apa bila dilaksanakan sendiri-sendiri. Namun jika usaha membangkitkan dilakukan secara bersama-sama dan terkoordinasi, bukan tidak mungkin usaha pelestarian berbagai kebudayaan Indonesia tidak menemui kendala berarti.

1Sedyawati,Edi, Pengertian-Pengertian Dasar: Sebuah Saran, Makalah Semiloka Preservasi dan Konservasi Seni Budaya Nusantara, Direktorat Akademik, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional, Yogjakarta, 11-13 Mei 2007, hal2

2]

3]Pasaribu, AnalisisMusik Indonesia, Jakarta, Pantja Simpati, 1987

4]Irwansyah Hutasuhut, Analisis Komperatif bentuk (pengarapan) dan teknik permainan dari sebuah Gondang (komposisi lagu) yang disajikan oleh tujuh partaganing , Skripsi, tidak diterbitkan, Medan, Fakultas Sastra Jurusan Etnomusikologi USU, 1990

5. Irfan, Makna dan arti yang terdapat pada sistem peralatan gondang dan fase-fase dalam upacara kematian pada Batak Toba, http://library.usu.ac.id/download/fe/Irfan.pdf, 2004

6Ibid, Pasaribu

7Ibid, pasaribu