Kamis, 26 April 2007

PARIWISATA SIMEULUE :

Dunia pariwisata mengundang ketertarikan banyak pemerintah di dunia untuk mengembangkan. Sebagai sumber devisa, pariwisata menyimpan potensi yang sangat besar. Menurut beberapa ahli pariwisata dewasa ini sudah menjadi bidang usaha atau industri terbesar ketiga setelah minyak dan perdagangan senjata. Bahkan ada pula yang mengatakan bahwa pariwisata merupakan bidang usaha terbesar kedua setelah minyak.

Sebagai pemasuk devisa, industri pariwisata memang cukup mengiurkan bagi Negara tujuan. Selain dari valuta asing yang dibelanjakan wisatawan selama berkunjung, negara ataupun daerah tujuan tersebut mendapat keuntungan ekonomis lainnya, seperti penerimaan pajak dari sektor usaha yang terkait dengan pariwisata seperti; hotel, restoran, tempat hiburan dll.

Selain sebagai pemasuk devisa, industri pariwisata dapat juga menjadi motor pengerak perekonomian masyarakat. Sebagai ilustrasi, dalam industri pariwisata memerlukan bebeberapa kebutuhan guna menarik turis untuk mendatangi suatu daerah diantaranya adalah hotel atau penginapan. Untuk memenuhi kebutuhan makan para tamu hotel atau penginapan, pengelola memerlukan bahan makanan yang bermutu dan segar. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut mereka mencari bahan makanan seperti sayur-sayuran dan buah-buahan di daerah sekitar lokasi hotel atau penginapan tersebut agar mendapat bahan yang segar. Kebutuhan ini menjadi peluang bagi masyarakat sekitar untuk mengembangkan agro industri dengan memperhatikan kualitas dan kuantitas. Contoh lainnya adalah, setiap wisatawan yang berkunjung ke suatu negara atau daerah tentunya memerlukan cenderamata dari negara atau daerah tersebut sebagai tanda kenangan yang dapat diceritakan wisatawan kepada sahabat, keluarga, sejawat. Kebutuhan ini tentunya mendorong masyarakat di negara atau daerah tujuan wisata untuk berkarya dan memproduksi cinderamata yang diinginkan wisatawan. Dengan demikian pada kahirnya mendorong pertumbuhan industri kecil yang ada di masyarakat.

Dari beberapa contoh di atas, pengembangan industri pariwisata juga menjadi pendorong bagi penyerapan tenaga kerja di beberapa sektor, baik sektor pariwisata itu sendiri amupun sektor yang mendukung pariwisata. Dengan demikian jelas bahwa pengembangan pariwisata mempunyai dampak positif bagi perekonomian masyarakat di negara atau daerah tujuan wisata tersebut. Dengan berkembangnya pariwisata di suatu negara atau daerah akan mengakibatkan perluasan sumber-sumber perekonomian bagi masyarakat di negara atau daerah tujuan wisata tersebut.

Pariwisata adalah suatu gejala yang komplek yang menyangkut manusia manusia seutuhnya dan memiliki berbagai aspek. Dari berbagai aspek yang ada, aspek yang mendapat perhatian yang paling besar adalah aspek ekonomisnya, maka berkembanglah suatu konsep yaitu industri pariwisata yang merupakan suatu kegiatan pariwisata seutuhnya. Sebagai industri, pariwisata mengeluarkan produk yang akan dibeli oleh pembelinya, yakni wisatawan. Ada bermacam-macam produk yang ditawarkan oleh industri pariwisata yang dapat dikelompokkan menjadi 3 bidang, yakni; bidang atraksi, bidang transportasi wisata, dan bidang jasa wisata. Bidang atraksi merupakan sesuatu yang diharapkan dari motif wisatwan berkunjung ke negara atau daerah tujuan wisata. Jadi seorang wisatwan akan berkunjung ke suatu daerah atau negara tujuan wisata untuk melihat atraksi wisata yang ada di daerah atau negara tersebut. Dengan demikian jika suatu negara atau daerah mempunyai niat untuk mengembangkan pariwisata di daerahnya haruslah memperhatikan ketersediaan atraksi wisata yang dapat menarik wisatwan untuk berkunjung ke daerah tersebut. Atraksi wisata dalam hal ini dapat berupa panorama alam, keanekaragaman budaya, peninggalan sejarah, kehidupan masyarakat dan sebagainya. Bidang jasa wisata merupakan produk yang dihasilkan pariwisata untuk memenuhi kebutuhan wisatawan selama melakukan wisata di negara atau daerah tujuan wisata. Jasa wisata yang dimaksud adalah hotel-hotel, penginapan, restoran, tempat hiburan, pramuwisita, dan lain-lain. Produk industri wisata yang tidak kalah pentingnya dari produk yang lain adalah transportasi wisata. Produk ini dimaksudkan untuk melayani wisatawan dari tempat asal ke tempat tujuan wisata atau dari hotel ke tempat atraksi wisata.

Berkembang atau tidaknya suatu negara atau daerah menjadi tujuan wisata yang ramai dikunjungi oleh wisatawan bergantung pada ketiga produk pariwisata yang dihasilkan oleh negara atau daerah tersebut. Semakin bagus dan bersaingnya produk yang dihasilkan, semakin banyak wisatawan yang berkunjung ke negara atau daerah tersebut. Sebaliknya semakin buruk produk yang dihasilkan semakin berkurang pula wisatawan yang berkunjung ke negara atau daerah tersebut.

Potensi Wisata

Peristiwa tsunami yang melanda Aceh setahun yang lalu banyak membawa hikmah bagi masyarakat Aceh termasuk masyarakat Simeulue. Salah satu hikmah yang terjadi adalah terkenalnnya daerah Simeulue sebagai salah satu daerah yang terkena gelombang tsunami namun tidak menimbulkan korban jiwa yang sangat besar. Masyarakat dunia merasa kagum atas upaya masyarakat Simeulue dalam menghindari korban jiwa yang sangat besar sebagaimana terjadi pada daerah-daerah lain yang terkena gelombang tsunami. Dari berbagai pemberitaan baik televisi maupun surat kabar atau bahkan internet diketahui bahwa keberhasilan masyarakat Simeulue menghindari korban yang cukup besar akibat gelombang tsunami terjadi karena masyarakat Simeulue masih tetap memegang adat istiadat dan mematuhi nasihat para orang tua. Mereka masih memegang teguh nasihat para orang tua yang menganjurkan untuk memelihara hutan mangrove, berlari ke gunung atau tempat yang tinggi jika terjadi gempa besar diikuti surutnya air laut.

Terkenalnya Simeulue di mata masyarakat dunia menjadi sebuah potensi yang sangat besar dalam membangun industri pariwisata selain potensi yang lain. Dengan dikenalnya Simeulue, maka dalam mempromosikan pariwisata pada dunia luar akan menjadi lebih mudah.

Sebelum terjadinya bencana tsunami tahun 2004 yang lalu, daerah Simeulue memiliki kekayaan alam yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai kawasan industri pariwisata sebagaimana daerah utama tujuan wisata di Indonesia seperti pulau Bali. Menurut Nyoman S.Pendit[1] Potensi pariwisata Indonesia terletak pada masyarakat (People) bumi nusantara (land), lautan katulistiwa (tropical seas), dan seni budaya (art and culture) yang merupakan : warisan budaya (cultural heritage), adat istiadat) (ways of life), cantiknya alam (lands of beauty), hangatnya air lautan (tropical warmth of sea water), pertanian ( agriculture), perkebunan (plantation), kehidupan masyarakat desa (community life in villages), peninggalan sejarah, monumen, candi, masjid, dll (archaelogy), goa-goa (caves), hutan belantara (jungles), olah raga air (water sports), upacara dan seremoni (programmes and ceremony) dan lain-lain.

Jika kita berpatokan pada pendapat di atas, maka dapat dikatakan bahwa Simeulue dapat dikatakan sangat berpotensial untuk dikembangkan sebagai daerah tujuan pariwisata. Hal ini dapat dilihat dari apa yang dimiliki oleh Simeulue dan masyarakat yang mendiami pulau tersebut.

Sebagai suatu daerah kepulauan, Simeulue banyak memiliki pantai dan pemandangan bawah laut dengan berbagai biota laut yang sangat indah. Tingginya gelombang menjadi tantangan menarik bagi para peselencar untuk menaklukannya. Selain itu juga lezatnya lobster yang merupakan budidaya unggulan masyarakat Simeulue memberikan daya tarik tersendiri bagi para wisatawan untuk menikmatinya.

Sebagai daerah kepulauan, Simeulue memiliki sebanyak 15 pulau yang berpenghuni dan 27 pulau yang tidak berpenghuni. Ke 27 pulau yang tidak berpenghuni tersebut sangat layak untuk dijadikan resort-resort pariwisata. Di dalam pulau Simeulue sendiri terdapat berbagai macam objek pariwisata yang dapat lebih dikembangkan. Makam Mangkudo Batu di daerah Teupah Barat, makam Tengku Di ujung di Simeulue Tengah, makam T Silaborit di Simeulue Tengah, Benteng Belanda di Teupah Selatan dan Teupah Barat, Masjid Tabusalihon di Teupah Barat. Teluk Sibigo yang memiliki terumbu karam yang indah, Pantai alus-alus dan Pulau Tampak yang dikelilingi hamparan pasir putih dan sangat menawan untuk olah raga air. Pantai Busung.

Selain potensi alam, Adat istiadat yang tetap dipegang teguh masyarakat Simeulue juga menjadi potensi bagi pengembangan industri pariwisata di simeulue. Kesenian seperti debus, pencak silat, Tari angguk, Tari Andalas, Nandong sangat menarik dan berpotensi untuk dijadikan sebagai atraksi budaya. Buae (menidurkan anak) nanga-nanga yang merupakan kebiasaan masyarakat setempat.[2]

Permasalahan Dalam Pengembangan Pariwisata

Ruang lingkup kegiatan pariwisata di Indonesia menurut Intruksi Presiden Republik Indonesia nomor 9 tahun 1969 adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan promosi, perjalanan dengan segala fasilitas-fasilitas yang diperlukan, akomodasi, rekreasi, pelayanan – pelayanan dan fasilitas-fasiltas lainnya yang diperlukan oleh wisatawan. Dengan demikian untuk mengembangkan pariwisata terdapat 4 kebutuhan dasar yakni : (1) akomodasi, (2) Transportasi, (3) Jasa dan (4) Atraksi.[3]

Dari 4 kebutuhan dasar tersebut, daerah Simeulue dapat dikatakan telah terpenuhi. Fasilitas akomodasi terdiri dari 3 losmen yaitu Losmen simeuleu, Losmen Sukma Raya, dan Losmen Kencana Baru serta rumah makan berjumlah 7 buah. Alat trasportasi yang tersedia menuju Simeuleu dari Banda Aceh terdapat dua jalur yakni jalur laut dengan mengunakan kapal laut melalui pelabuhan ulhelee Banda Aceh dan Pesawat Udara melalui Bandara Sultan Iskandar Muda di Blang Bintang. Selain itu juga untuk mengunjungi daerah-daerah wisata di Pulau Simeulue, wisatawan dapat mempergunakan kendaraan umum atau pun mencarter kendaraan baik mobil maupun sepeda motor. Sedangkan atraksi yang dapat dilihat wisatawan yang mengunjungi Simeulue terdapat banyak pilihan dari atraksi budaya sampai kehidupan masyarakat Simeulue.

Namun , hal tersebut di atas belum lah cukup. Segala kebutuhan dasar pariwisata yang tersedia di Simeulue hanya mampu untuk melayani masyarakat setempat dan pengunjung dari luar Simeulue yang datang untuk kepentingan lain. Walaupun telah dilayani oleh jasa penerbangan dan laut, namun untuk menuju Simeulue banyak orang merasa kesulitan. Penerbangan hanya dilayani oleh SMAC, satu perusahan penerbangan dengan pesawat kecil. Dengan pesawat yang memiliki kapasitas 18-22 tempat duduk yang selalu fully booked ini , wisatawan yang akan berkunjung ke Simeulue harus bersabar selama seminggu untuk menunggu jadwal penerbangan dan itu pun belum tentu mendapat tiket. Sedangkan transportasi melalui laut belum memiliki jadwal yang tetap dan hanya dilayani oleh kapal kecil. Akomodasi yang tersedia di Simeulue hanyalah setingkat losmen yang rata-rata memiliki 15 kamar tidak memiliki fasilitas AC.

Upaya Simeulue Mengembangkan Pariwisata

Berbagai cerita wisatawan baik dalam maupun luar negeri yang mengunjungi Simeulue yang mengeluhkan minimnya fasilitas membuat usaha pengembangan pariwisata di Simeulue menjadi tantangan yang cukup berat bagi pihak-pihak terkait terutama Pemerintah Daerah Simeulue.

Pemerintah Daerah Simeulue sangat menyadari bahwa Simeuelue kurang menarik bagi para investor untuk menanamkan modalnya di derah tersebut.

Untuk itu Pemda Simeulue berusaha meningkatkan daya tarik investor dengan mengembangkan berbagai kebijaksanaan diantaranya menetapkan arah kebijaksanaan pembangunan ekonomi. Adapun arah kebijaksanaan yang terkait dengan sektor pariwisata adalah :

1. Menggali dan mengembangkan kebudayaan dan kesenian khas daerah Simeulue yang bersumber pada warisan leluhur yang berakar dari budaya Islam dalam rangka mendukung terpeliharanya kerukunan hidup masyarakat.

2. Menjalin kerjasama terprogram antar dinas terkait dengan lembaga adat dan seniman yang ada di masyarakat.

3. Menata dan membenahi objek-objek wisata alam dan wisata bahari yang bernilai ekonomis tanpa merusak lingkungan, dipadukan dengan pengembangan seni budaya dan cinderamata khas Simeulue.

4. Membangun dan menata kembali apresiasi seni dan adat istiadat yang membudaya dalam masyarakat sebagai penangkal budaya luar yang dapat merusak moral dan identitas bangsa.

5. Menciptakan iklim sosial yang dapat membuka kesempatan yang luas kepada masyarakat untuk berperan dalam mengaplikasikan hukum dan adat istiadat dalam tatanan hidup yang dipatuhi dan dihormati.

Selain menetapkan arah kebijaksanaan, Pemda Simeulue juga merencanakan pengelolaan kawasan pariwisata Simeulue yang diarahkan pada konsep wisata bahari dan wisata alam dengan semangat Back to Nature sehingga pengembangan pariwisata Simeulue tetap menjaga keseimbangan ekosistem.

Adapun rencana pengembangan yang akan datang adalah sebagai berikut :

1. Membangun kawasan wisata jemur di Pantai Lasikin hingga Pantai Lambaya sepanjang 40 Km.

2. Membangun resort untuk menunjang wisata Pantai di Kuta Batu, Buluhhadek, Lafakha, Miteum, Babang, Langi.

3. Membangun hutan-hutan wisata di Danau Lok Ulo, Danau Mutiara dan Suak Buluh.

4. Mempertahankan situs-situs seperti Makam Tengku Diujung.[4]

Penutup

Berbagai potensi pariwisata yang dimiliki Simeulue menjadi daya tarik tersendiri bagi para wisatawan. Namun hal itu belumlah cukup untuk mengundang wisatawan lebh banyak lagi. Berbagai rencana dilakukan oleh Pemda untuk memajukan pariwisata Simeulue. Seperti biasa yang terjadi di daerah-daerah terpencil di Indonesia, berbagai rencana yang muluk-muluk akan selalu terkendala oleh berbagai faktor terutama faktor perhatian dari pemerintah provinsi dan pemerintah pusat yang minim terhadap daerah tertinggal. Tanpa adanya perhatian yang besar dari pemerintah provinsi dan pemerintah pusat tentunya kucuran dana yang diperlukan untuk membangun suatu daerah menjadi terhambat bahkan tidak ada sama sekali.

Dengan sistem otonomi daerah yang saat ini diterapkan di Indonesia menjadi peluang pada daerah-daerah tertinggal termasuk Simeulue untuk menggali potensi sendiri dalam menghasilkan Pendapatan Asli Daerah untuk dipergunakan membangun daerah masing-masing.

Secara teoritis otonomi daerah dapat mengangkat harkat dan martabat daerah, namun dalam kenyataannya tidak semua daerah menjadi maju berkat otonomi daerah. Berbagai penyebab melatarbelakangi ketidakmajuan daerah-daerah diantaranya adalah mentalitas kerja para aparat baik eksekutif maupun legislatif yang seringkali tidak berpihak pada rakyat.

Apabila melihat perkembangan situasi Politik, ekonomi, sosial dan budaya Simeulue saat ini, Usaha Pemda Simeulue untuk mengembangkan pariwisata menjadi sebuah retrorika. Oleh sebab itu perlu adanya kesadaran dari berbagai pihak baik pemerintah maupun masyarakat. Baik Pemerintah pusat maupun daerah untuk dapat secara sungguh-sungguh mengembangkan industri pariwisata di Simeulue guna menghasilkan Pendapatan Asli Daerah yang tinggi yang berarti pula dapat mensejahterakan rakyat Simeulue.



[1] Nyoman S Pendit, Ilmu Pariwisata sebuah Pengantar Perdana, PT Pradnya Paramita, Jakarta, 2003

[2] Buletin Aceh, edisi agustus 2004.

[3] Wayan Geriya, Pariwisata dan Segi-segi Sosial Budaya Masyarakat Bali (Bunga Rampai Antropologi Pariwisata), 1983. Denpasar, Faksas Unud

[4] Buletin Aceh, Op.Cit

HIKAYAT TEUNGKU DI MEUKEK

Histografi tradisional merupakan salah satu bentuk penulisan sejarah yang dibuat oleh para penulis untuk mengambarkan, menceritakan kejadian-kejadian sejarah yang terjadi pada masa lalu. Perbedaan historiografi modern dengan historiogarfi tradisonal salah satunya adalah ; dalam menulis historiografi tardisional si penulis seringkali melebih-lebihkan atau pun menambah bunga-bunga cerita untuk lebih menonjolkan kehebatan cerita maupun tokoh utama.

Historiografi tardisional di Indonesia cukup banyak dan tersebar dari Sabang sampai Meuruke dengan berbagai nama dari Hikayat di Sumatera, Patuha di Sumatera Utara, Babad di Pulau Jawa & Bali, Lontarak di Sulawesi. Salah satu historiografi tradisional yang pernah di tulis adalah Hikayat Teungku Di Meukek dari Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Hikayat Teungku di Mukek merupakan historiografi tardisional yang menceritakan kepahlawanan Syekhuna, seorang ulama di daerah Meukek, Meulaboh (sekarang masuk ke dalam daerah Kabupaten Aceh Barat Daya) yang kemudian dikenal sebagai Tengku di Meukek dalam melawan kesewenang-wenangan penguasa lokal yang bernama Raja Lila Perkasa dengan dibantu oleh penjajahan Belanda pada masa perang Aceh. Dalam hikayat ini diceritakan Tengku di Meukek yang memiliki Dayah (pesantren) di daerah Meukek yang termasuk ke dalam kenegerian Rundeng berhasil membangun kenegerian tersebut dan memperkuat benteng pertahanan guna melindungi kenegerian tersebut dari serang musuh, terutama Belanda. Melihat kemajuan tersebut, pimpinan lokal yang berkuasa di Meulaboh, Raja Lila Perkasa, merasa kekuasaannya tengah dilecehkan. Dengan hasutan dan bantuan Belanda Raja Lila Perkasa dengan dibantu para hulubalang yang mendukungnya menyerang Rudeng. Singkat cerita terjadilah peperangan dahsyat antara pendukung Tengku di Meukek dengan para pendukung Raja Lila Perkasa. Karena kalah kekuatannya, maka para pendukung Tengku di Meukek dapat dikalahkan dan pergi meninggalkan benteng pertahanan yang dikuasainya. Mendengar kekalahan tersebut Tengku di Meukek keluar dari benteng pertahanannya dan menyerbu sendirian ke benteng pertahanan musuh. Dengan dikeroyok oleh para hulubalang lawan, akhirnya Tengku di Meukek gugur dan mayatnya dibawa oleh Belanda. Demikianlah Hikayat Tengku Di Meukek.

Dalam Hikayat Tengku di Meukek terlihat adanya penyisipan bunga-bunga cerita yang mengabarkan kehebatan tokoh utama yang menurut masyarakat modern kadang tidak masuk akal seperti :

Nyangkeu Ureueng keubai lagoe ek

Mee taculek lam-lam mata

Yoh masa prang nanggore Meukek

Mubalek-balek dalam paya

Orang yang kebal seperti air

Walaupun kita colok ke dalam matanya.

Itulah yang terjadi dalam masa perang negeri Meukek

Balik-balik ke dalam paya.

Kuta Sijaloh Panglima Nyak asam

Bak Jimeucang Miseue Cempala

Nyanpi sidroe han lut beusoe

Mee takiloe lam-lam mata

Benteng pertahanan Nyak Asam Beliau serbu

Menghindari peluru bagaikan burung Cempala

Tidak ada satupun yang mengenainya

Tidak terkira oleh mata

Pengunaan bunga-bunga cerita tersebut memanglah tidak semistis dan sebombastis Babad-babad yang ada di Jawa dan Bali. Namun, tetap saja pengunaan bunga-bunga cerita ini menjadi daya tarik bagi pembaca.

Penulisan hikayat ini mengikuti kaidah ab-ab sebagaimana yang sering ditulis dalam pantun-pantun melayu. Pengunaan bunga-bunga cerita membuat hikayat ini menjadi semakin menarik dan bernilai sastra.

Demikianlah sedikit analisis mengenai Hikayat Tengku di Meukek

TARI GUEL ; SIMBOLISASI LEGENDA SENGEDA DAN GAJAH PUTIH

Seni secara harfiah diartikan sebagai suatu keindahan. Sebuah karya seni mengandung rasa keindahan dan memberikan kepuasan batin bagi para penikmatnya. Oleh sebab itu apapun yang menimbulkan pesona keindahan dan rasa kepuasan batin dianggap sebagai suatu karya seni.

Perasaan akan keindahan merupakan kebutuhan setiap manusia. Oleh karena itu dalam kehidupan sehari-hari, untuk memenuhi kepuasan batin akan keindahan manusia memerlukan karya seni. Dalam pemenuhan kebutuhan akan rasa keindahan tersebut manusia menciptakan sebuah karya seni yang disusun berdasarkan pemikiran-pemikirannya sehingga menjadi suatu karya seni yang indah, yang menimbulkan kesenangan untuk dinikmati.

Dalam menciptakan suatu karya seni, seringkali seorang seniman dipengaruhi oleh berbagai latar belakang baik lingkungan budaya maupun lingkungan fisik. Maka, karya seni yang diciptakan oleh suatu masyarakat tidak akan sama dengan masyarakat lain, walaupun akan dijumpai kemiripan. Karya seni yang dihasilkan oelh masyarakat pesisir pantai tidak akan sama dengan karya seni yang diciptakan oleh masyarakat pegunungan atau pedalaman. Masyarakat pesisir akan menciptakan karya seni yang diambil dari kehidupan sehari-hari. Menangkap ikan, gemuruh ombak,pasir laut menjadi insipirasi mereka. Dari inspirasi tersebut terciptalah nyanyian yang bertempo cepat, tarian dengan ritme yang bergelombang.

Berbeda halnya dengan masyarakat pegunungan atau pedalaman yang dalam kehidupan sehari-harinya bergelut dengan suasana sepi, ritme kehidupan yang lamban, mereka menciptakan karya seni yang mengambil inspirasi dari gesekan dedaunan, gerakan hewan, suara binatang dan sebaginya. Karya seni yang terciptapun memiliki ciri yang khas yakni, memiliki ritme yang lamban, menirukan gerak dan suara binatang.

Masyarakat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam,dilihat dari geografisnya terbagi ke dalam dua kelompok, yakni masyarakat pesisir dan masyarakat pegunungan ataupun pedalaman. Salah satu daerah yang termasuk ke dalam masyarakat pegunungan adalah masyarakat Gayo yang berada di Aceh Tengah, Aceh Tenggara, Bener Meriah, dan Gayo Lues.

Sebagaimana masyarakat lainnya, masyarakat Gayo memiliki kesenian yang berciri khas sendiri. Salah satu kesenian yang sangat terkenal adalah Tari Guel. Oleh sebagian besar pengamat seni, tari Guel sepenuhnya apresiasi terhadap wujud alam, lingkungan yang kemudian dirangkai begitu rupa melalui gerak simbolis dan hentakan irama. Tari ini adalah media informatif. Kekompakan dalam padu padan antara seni sastra, musik/suara, gerak memungkinkan untuk dikembangkan (kolaborasi) sesuai dengan semangat zaman, dan perubahan pola pikir masyarakat setempat.[1]

Dalam masyarakat gayo, tari Guel tidak terlepas dari legenda Sengeda dan Bener Meriah. Tari Guel tercipta dari suasana hati Sengeda yang bersedih hati akan kehilangan adik tersayangnya Bener Meriah dan bertekad membalas perbuatan jahat Raja yang telah menyuruh seseorang untuk membunuh mereka dan berakibat pada kematian adiknya.

Legenda Sengeda dan Gajah Putih

Pada masa lalu di dataran tinggi Gayo tinggal dua orang kakak beradik yakni, Sengeda dan Bener Meriah bersama ibu mereka. Suatu hari kedua kakak beradik itu menanyakan kepada ibunya siapakah keluarga mereka sebenarnya. Diterangkanlah oleh ibu mereka bahwa ayah mereka bernama Raja Lingga ke XIII, raja yang berkuasa di negeri Lingga. Sedangkan dari pihak ibu mereka adalah keluarga Sultan Malaka. Raja Lingga yang sekarang berkuasa adalah Abang kandung seayah dengan mereka. Sehabis menceritakan asal usul keluarga mereka sang ibu menyerahkan dua pusaka peninggalan almarhun ayahnya Raja Lingga XIII berupa sebilah pedang dan sebentuk cincin permata yang dalam dua benda pusaka tersebut terdapat tulisan yang bertuliskan bahwa kedua benda tersebut milik Raja Lingga yang diwariskan secara turun temurun pada keturunannya. Mendengar cerita tersebut keduanya sepakat untuk pergi ke Lingga untuk menemui Abang dan para kerabatnya.

Setelah mendapat izin dari ibunya, keduanya berangkat menuju Lingga. Sesampainya di sana dengan diantar oleh penguasa setempat, keduanya menghadap Raja Lingga XIV dengan hati penuh suka cita. Di halaman Umah Tujuh Ruang tempat Raja Lingga XIV bertahta mereka sangat terkagum-kagum akan keindahan tempat tersebut. Sesampainya di dalam Umah Tujuh Ruang mereka takjup akan keindahan dan kemewahan tempat tersebut. Mereka kagum akan kebesaran saudara mereka sebagai Raja Lingga XIV. Dihadapan raja dan para pembesar Kerajaan Lingga lainnya, mereka menceritakan maksud kedatangan mereka yang ingin bertemu dengan saudaranya dan juga para kerabat yang lain. Diceritakan pula bahwa mereka adalah anak dari Raja Lingga XIII dan juga keturunan keluarga Sultan Malaka. Tidak lupa mereka memperlihatkan pusaka pemberian ibu mereka kepada para hadirin sebagai bukti bahwa mereka keturunan Raja Lingga XIII.

Mendengar pengakuan dari kedua kakak beradik tersebut seluruh hadirin terharu dan merasa bersyukur bahwa keluarga mereka telah kembali. Namun dalam beberapa saat mereka terkejut akan ucapan Raja yang menuduh mereka berbohong. Menurut raja mereka bukanlah keluarga Raja Lingga XIII. Pusaka yang mereka miliki memang benar milik Raja Lingga XIII, tetapi pusaka tersebut telah dicuri oleh seseorang setelah membunuh Raja Lingga XIII. Dengan demikian kedua kakak beradik tersebut adalah pembunuh Raja Lingga XIII.

Mendengar tuduhan tersebut tentunya kedua kakak beradik terkejut bukan kepalang. Mereka sangat sedih bahwa mereka dituduh membunuh Ayah mereka. Atas dasar itu, raja pun memutuskan hukuman pada keduanya berupa hukuman mati. Mendengar titah raja yang demikian seluruh hadirin sangat terkejut. Para pembesar kerajaan berusaha meluruskan permasalahan dan meyakinkan raja bahwa kedua kakak beradik tersebut memang benar-benar anak Raja Lingga XIII. Dengan segala cara para hadirin yang terdiri dari para pembesar kerajaan dan kerabat istana membujuk raja untuk merubah keputusan, namun hati baginda raja telah membantu dan tetap memerintahkan kakak beradik tersebut untuk dihukum mati.

Untuk melaksanakan hukuman mati tersebut baginda raja memerintahkan seorang algojo untuk memancung Bener Meriah. Sedangkan Cik Serule salah seorang pembesar kerajaan ditugasi untuk memancung Sengeda. Atas perintah tersebut algojo yang berhati bengis ini langsung menyeret Bener Meriah dari Umah Tujuh Ruang untuk dipancung ditengah lapangan. Dalam sekejap akhirnya Bener Meriah merenggangkan nyawanya di tanggan algojo. Pakaian Bener meriah yang berlumuran darah dibawa algojo dan diserahkan pada raja sebagai bukti Bener meriah telah mati.

Sedangkan Sengeda dibawa Cik Serule ke suatu tempat untuk dibunuh. Dalam perjalanan ke tempat tersebut hati Sengeda hancur lebur menyaksikan kepergian saudaranya Bener meriah di tangan algojo atas perintah raja yang tamak. Sengeda telah pasrah dibawa kemanapun oleh Cik Serule.

Tanpa diduga sebelumnya oleh Sengeda, ternyata Cik Serule tidak membunuh Sengeda bahkan menyembunyikan Sengeda di suatu tempat tersembunyi. Untuk membuktikan bahwa perintah dari baginda Raja Lingga XIV telah dilaksanakan, Cik Serule meminta pakaian yang dikenakan Sengeda dan melumuri pakaian tersebut dengan darah binatang. Cik Serule memerintahkan Sengeda untuk tidak pergi meninggalkan tempat persembunyaian sampai beliau datang menjemputnya.

Setelah merasa aman, Cik Serule keluar dari tempat persembunyian dengan membawa pakaian Sengeda yang telah berlumuran darah. Di tengah perjalanan menuju Umah Tujuh Ruang, Cik Serule bertemu dengan sahabat-sahabatnya yang memprotes keputusan raja namun tidak berani membantahnya. Sesampainya di Umah tujuh Ruang tempat berdiamnya raja, Cik Serule menyerahkan pakaian Sengeda yang telah berlumuran darah sebagai bukti bahwa tugas membunuh Sengeda telah dilaksanakan. Melihat bukti tersebut Raja Lingga XIV merasa gembira, beliau yang hatinya penuh diliputi rasa iri dan dengki merasa puas musuhnya telah tiada.

Seusai menghadap raja, Cik Serule memohon izin untuk kembali ke rumahnya. Sebelum sampai ke rumahnya Cik Serule mampir ke tempat persembunyian Sengeda dengan membawa bahan-bahan kebutuhan hidup. Cik Serule berpesan kembali kepada Sengeda bahwa Sengeda harus tetap bersembunyi di tempat tersebut sampai dirinya kembali.

Di tempat persembunyian Sengeda hidup seorang diri. Berbagai aktivitas ia lakukan untuk mengusir kesepian. Namun, setelah cukup lama bersembunyi kesepian tetap menerpa Sengeda apalagi jika ia mengingat peristiwa kematian saudaranya Bener meriah.

Ketika kesepian itu tidak dapat terbendung lagi, Sengeda berniat meninggalkan tempat persembunyian, namun sebelum sampai niatnya itu terlaksana, Cik Serule tiba mengunjungi Sengeda di tempat persembunyian. Tanpa diduga oleh Sengeda sebelumnya, ternyata Cik Serule telah mempunyai rencana untuk dirinya. Cik Serule menyuruhnya untuk tinggal di kediaman Cik Serule. Selama tinggal di rumah Cik Serule Sengeda mengerjakan tugas menjaga kebun dan ternak milik Cik Serule. Selama mengerjakan tugasnya Sengeda bekerja sangat rajin. Melihat kerajinan dan kepatuhan Sengeda, Cik Serule merasa sayang dengannya. Oleh sebab itu Sengeda telah dianggap anak oleh Cik Serule.

Suatu hari dalam tidurnya Sengeda bertemu dengan saudaranya Bener meriah. Dalam mimpi tersebut Bener meriah memberi petunjuk agar Sengeda meminta izin pada Cik Serule untuk ikut mengiringi Cik Serule ke ibukota Kerajaan Aceh Darussalam. Sebagai bekal ke ibukota kerajaan Aceh Darussalam, Sengeda diperintahkan membawa sebilah pisau kecil yang sangat tajam dan sebilah upih betung yang terbagus dan terlebar.

Sesampai di ibukota Sengeda diharuskan mencari jalan agar dia dapat diizinkan memasuk ke dalam keraton Darul dunia. Pada hari persidangan Sengeda diperintahkan untuk duduk di Balai Gading (balai tempat istirahat raja-raja). Dalam mimpinya tersebut Bener meriah memerintahkan Sengeda melukis seekor gajah di upih betung dengan pisau kecil yang telah dibawa. Setelah selesai mainkanlah lukisan tersebut niscaya akan datang seorang putri menghampiri diri mu. Jika putri tersebut bertanya ukiran apakah itu, jawablah itu merupakan lukisan gajah putih yang cantik rupawan dan kuat. Jika ditanya keberadaan gajah putih tersebut jawablah berada di negeri Lingga dan jika Sultan bersedia menyuruhmu menangkap gajah putih tersebut, kamu sanggup melaksanakannya. Jangan takut aku akan selalu membantu mu. Demikianlah ucapan Bener meriah dalam mimpi Sengeda.

Terjaga dari mimpi tersebut, Sengeda berpikir dengan keras. Dia sadar bahwa apabila melaksanakan amanat Bener meriah dalam mimpinya itu, jika ketahuan maka nyawa Sengeda menjadi taruhannya. Selain itu juga keselamatan Cik Serule juga ikut terancam. Namun setelah mempertimbangkan masak-masak dan berdoa pada Allah s.w.t, Sengeda berteguh hati melaksanakan amanat Bener meriah.

Pada suatu hari terdengar rencana Cik Serule ke ibu kota kerajaan Aceh Darussalam sebagai utusan Raja Lingga menghadiri sidang tahunan. Mendengar rencana tersebut Sengeda teringat akan mimpinya, menghadaplah Sengeda pada Cik Surele dan memohon untuk diajak serta dalam rombongan Cik Serule ke ibukota kerajaan Aceh Darussalam. Mendengar permohonan tersebut Cik Serule mengabulkannya. Maka berangkatlah Sengeda beserta rombongan Cik Serule ke ibu kota kerajaan Aceh Darussalam.

Ketika telah berada di ibu kota kerajaan Aceh Darussalam, Sengeda berusaha mencari kesempatan untuk dapat masuk ke dalam keraton Darul Dunia. Ketika seluruh pembesar kerajaan Aceh Darussalam beserta utusan raja-raja taklukan sedang melaksanakan sidang, Sengeda berhasil masuk ke dalam keraton Darul dunia dan menuju Balai gading. Sesampai di sana ia memainkan lukisan gajah yang telah ia lukis di atas upih bambu yang telah ia persiapkan dari rumah. Pada saat memainkan lukisan tersebut, Sengeda kagum, karena pantulan cahaya matahari yang mengenai lukisan tersebut dan memantul kembali ke tembok keraton membuat lukisan gajah tersebut menjadi sangat indah. Sesuai dengan mimpinya, tidak berapa lama datanglah seorang putri yang ternyata salah seorang putri Sultan Aceh. Sang putri menanyakan gambar tersebut pada Sengeda. Diceritakan oleh Sengeda tentang gajah putih sesuai dengan petunjuk Bener meriah dalam mimpinya. Mendengar cerita Sengeda, hati Sang putri terpikat dan memohon pada ayahnya Sultan Aceh Darussalam untuk memerintahkan Cik Serule membawakan gajah putih.

Mendengar permintaan putrinya, Sultan Aceh memerintahkan Cik Serule untuk menangkap gajah putih yang dimaksud. Mendengar permintaan Sultan Aceh, Cik Serule bingung bukan kepalang karena dia tidak mengetahui pengetahuan sama sekali tentang gajah putih yang dimaksud. Mengetahui hal itu Sengeda menceritakan seluruh mimpinya pada Cik Serule dan menenangkan hati Cik Serule dengan menyatakan kesanggupannya untuk menangkap Gajah putih dan mempersembahkannya pada Sultan Aceh.

Setiba di Lingga, Cik Serule melaporkan perintah Sultan Aceh pada Raja Lingga XIV. Kemudian Raja Lingga XIV memerintahkan pada seluruh rakyat untuk membantu Cik Serule menangkap gajah putih.

Untuk menangkap gajah putih di rimba Gayo, Sengeda memohon pada Cik Serule mengadakan kenduri sekedarnya dan berdoa di makam saudaranya Bener meriah. Selain itu juga Sengeda meminta pada penduduk kampung yang akan ikut menangkap gajah putih untuk membawa berbagai macam alat musik untuk dimainkan setelah berdoa di makan Bener meriah. Mendengar permintaan Sengeda, hati Cik Serule merasa bingung tidak mengerti apa hubungan menangkap gajah putih dengan berdoa di makam Bener meriah. Namun karena keyakinannya terhadap Sengeda, Cik serule mengabulkannya.

Pada hari yang telah ditentukan berangkatlah Sengeda bersama Cik serule dan rombongan menuju makam Bener meriah dengan membawa bahan makanan untuk kenduri serta tidak lupa membawa alat-alat kesenian.

Sesampainya di makam Bener meriah mereka berdoa pada Allah s.w.t agar niat mereka dapat terlaksana dengan baik. Selesai berdoa mereka pun melaksanakan kenduri sambil memainkan alat-alat kesenian yang telah mereka persiapkan. Di saat bersamaan, Sengeda memerintahkan beberapa orang yang tidak membawa alat musik untuk menari. Dengan alunan sedih, Sengeda menyanyikan lagu yang menceritakan kesedihannya ditinggal saudara kandungnya Bener meriah. Tari, syair lagu dan alunan musik yang sedih tersebut membentuk suatu rangkaian yang sampai saat ini dikenal sebagai “Tari Guel”.

Ketika mereka sedang asik menari dan memainkan musik, tiba dari arah rumpun bambu muncul seekor gajah putih yang besar dan cantik. Melihat hal itu Sengeda memerintahkan para penduduk untuk terus memainkan tarian tersebut dengan hati yang ikhlas. Mendengar suara alunan musik dan gerak tari yang ritmis tersebut gajah putih bagaikan tersihir. Sengeda dengan didampingi Cik serule menghampiri gajah putih yang telah jinak tersebut untuk menangkap dan mengikatnya.

Keberhasilan Sengeda dan Cik serule menangkap gajah putih membuat hati Raja Lingga XIV berbunga-bunga membayangkan hadiah yang akan ia terima. Tanpa menunggu lama raja memerintahkan Sengeda dan Cik Serule untuk mendampinginya mengantar gajah putih tersebut ke ibukota kerajaan Aceh Darussalam untuk dipersembahkan pada Sultan Aceh. Selama dalam perjalanan sekali-kali Cik Serule menepung tawari gajah putih tersebut agar tetap jinak.

Singkat cerita sampailah rombongan ke hadapan Sultan Aceh. Melihat gajah putihyang diinginkannya putri sultan merasa gembira hatinya. Atas keberhasilan tersebut sultan memberikan hadiah dalam upacara kebesaran. Sebelum acara penyerahan hadiah dilaksanakan, Raja Lingga XIV menghampiri gajah putih untuk memamerkan pada seluruh negeri bahwa dia telah berhasil menangkap gajah putih. Tanpa diduga, gajah putih tersebut mengamuk dan menyemprotkan Raja Lingga dengan air lumpur. Untung saja kejadian tersebut cepat diketahui oleh Sengeda dan Cik serule sehingga raja lingga dapat diselamatkan dari amukan gajah.

Pada hari pemeberian hadiah, Sultan Aceh yang bijaksana sangat tertarik akan kisah Sengeda yang telah berhasil menangkap gajah putih. Maka ditanya pula asal usul Sengeda. Memenuhi permintaan Sultan, Sengeda dengan didampingi Cik Serule dan Raja Lingga XIV menceritakan dengan sebenarnya asal usul Sengeda dan tidak lupa diceritakan pula peristiwa kematian saudara kandungnya Bener Meriah. Untuk memperkuat cerita Sengeda, sultan memerintahkan untuk menghadirkan ibu Sengeda. Setibanya di ruang sidang, ibu Sengeda menceritakan kembali asal-usul Sengeda. Mendengar cerita Sengeda dan ibunya, murka lah baginda pada Raja Lingga XIV yang begitu bengis telah memerintahkan algojo untuk membunuh saudara sendiri. Atas perbuatannya tersebut sultan memutuskan menghukum mati Raja Lingga XIV[2].

Demikianlah legenda Sengeda dan Gajah putih. Dari legenda inilah tari guel berasal. Begitulah sejarah dari cerita rakyat di Gayo, walaupun kebenaran secara ilmiah tidak bisa dibuktikan, namun kemudian Tari Guel dalam perkembangannya tetap mereka ulang cerita unik Sengeda, Gajah Putih dan sang Putri Sultan. Inilah yang kemudian dikenal temali sejarah yang menghubungkan kerajaan Linge dengan Kerajaan Aceh Darussalam begitu dekat dan bersahaja.

Simbolisasi legenda

Tari Guel seringkali dipentaskan oleh masyarakat Dataran tinggi Gayo pada waktu pesta perkawinan. Mereka masih mengambil spirit pertalian sejarah dengan bahasa dan tari yang indah dalam Tari Guel.

Sebagaimana yang telah disebutkan di atas bahwa tari guel tidak bisa terlepas dari legenda Sengeda dan gajah putih. Berbagai simbolisasi yang mewakili legenda tersebut terdapat pada tari guel. Bahkan dapat dikatakan bahwa tari guel merupakan reinkarnasi dari legenda tersebut.

Tari Guel dibagi dalam empat babakan baku. Terdiri dari babak Mu natap, Babak II Dep, Babak III Ketibung, Babak IV Cincang Nangka. Ragam Gerak atau gerak dasar adalah Salam Semah (Munatap ), Kepur Nunguk, Sining Lintah, Semer Kaleng (Sengker Kalang), Dah-Papan.

Sementara jumlah para penari dalam perkembangannya terdiri dari kelompok pria dan wanita berkisar antara 8-10 ( Wanita ), 2-4 ( Pria ). Jumlah penabuh biasanya minimal 4 orang yang menabuh Canang, Gong, Rebana, dan Memong.

Penari pria dalam setiap penampilannya menjadi primadona dan merupakan simbol yang mewakili tokoh-tokoh dalam legenda tersebut. Sengeda kemudian diperankan oleh Guru Didong yakni penari yang mengajak Beyi (Aman Manya ) atau Linto Baroe untuk bangun dari tempat persandingan (Pelaminan). Sedangkan Gajah Putih diperankan oleh Linto Baroe (Pengantin Laki-laki). Pengulu Mungkur, Pengulu Bedak diperankan oleh kaum ibu yang menaburkan breuh padee (beras padi) atau dikenal dengan bertih.

Tari Guel memang unik, tari tersebut mengandung unsur dan karakter perpaduan unsur keras lembut dan bersahaja. Bila para pemain benar-benar mengusai tarian ini, terutama peran Sengeda dan Gajah Putih maka bagi penonton akan merasakan ketakjuban luar biasa. Seolah-olah terjadinya pertarungaan dan upaya mempengaruhi antara Sengeda dan Gajah Putih. Upaya untuk menundukkan jelas terlihat, hingga kipasan kain kerawang Gayo di Punggung Penari seakan mengandung kekuatan yang luar biasa sepanjang tarian. Guel dari babakan ke babakan lainnya hingga usai selalu menawarkan uluran tangan seperti tarian sepasang kekasih ditengah kegundahan orang tuanya. Tidak ada yang menang dan kalah dalam tari ini, karena persembahan dan pertautan gerak dan tatapan mata adalah perlambang Cinta.

Penutup

Tarian tidaklah hanya sekedar gerak yang tanpa arti. Tarian mengandung berbagai makna yang merupakan simbolisasi berbagai peristiwa, keadaan, maupun petuah para leluhur masyarakat. Sangat disayangkan jika sebuah tarian hilang dari ingatan masyarakat pendukungnya.

Tari Guel yang biasanya dimainkan pada pesta perkawinan mulai kehilangan pengemarnya. Kini dalam pesta perkawinan di tanah gayo,orang lebih senang menampilkan organ tunggal ketimbang tari guel. Jika hal ini terus berlanjut, tari guel tidak bisa bertahan lama dalam menghadapi gempuran budaya baru. Oleh sebab itu perlu adanya berbagai upaya untuk melestarikan.

Kehilangan suatu tarian tidak hanya kehilangan gerak tari itu semata, tetapi juga kita kehilangan pesan-pesan yang disampaikan melalui simbol-simbol dalam tarian tersebut.



[1] Ridwan H Muchtar, Hikayat Tari Guel, Serambi,Rabu, 31 Desember 1969

[2] Junus Djamil, Gadjah Putih, Banda Aceh, Lembaga Kebudayaan Atjeh, 1958

DIBALIK KEMENANGAN GAM

Penandatangganan Mou perdamaian antara Pemerintah R.I dengan GAM sangat disyukuri oleh semua pihak, tidak hanya masyarakat Aceh tetapi juga bangsa Indonesia yang menginginkan penyelesaian damai bagi konflik berkepanjangan di Aceh.

Salah satu implikasi dari perjanjian damai tersebut adalah diperbolehkannya rakyat Aceh mengadakan pemilihan langsung dan membuat partai lokal/jalur independen. Hal ini tentunya menjadi sebuah kesempatan emas bagi rakyat Aceh dalam membangun dan menata pemerintahannya sendiri yang memihak pada rakyat Aceh. Dari rakyat Aceh, Oleh Rakyat Aceh dan Untuk Rakyat Aceh.

Sedangkan bagi pemerintah pusat Pilkada Aceh merupakan ajang pembuktian keseriusan pemerintah dalam membangun Aceh yang damai, dimana selama ini banyak anggota masyarakat Aceh yang meragukan akan keseriusan pemerintah pusat. Selain itu juga penyelenggaraan Pilkada menjadi sebuah prestise bagi seluruh bangsa Indonesia dan pemerintahan SBY-Kalla. Seperti kita ketahui bahwa perjanjian damai antara Pemerintah R.I dan GAM menjadi suatu contoh konkrit bagi penyelesaian konflik secara damai di seluruh belahan dunia.

Sebagai bagian dari proses perjanjian damai tersebut penyelenggaraan pilkada tentunya mengarahkan mata dunia ke Aceh untuk melihat, mengawasi, dan mempelajari penyelenggaraan Pilkada.

Dengan dibukanya kesempatan bagi seluruh lapisan masyarakat Aceh untuk mencalonkan diri mengikuti Pilkada melalui jalur Independen tentunya menjadi peluang bagi GAM untuk memimpin pemerintahan di Aceh secara damai sesuai dengan Mou. Maka tidak mengherankan walaupun secara kelembagaan GAM tidak mengikuti Pilkada, namun tokoh-tokoh GAM baik di tingkat pusat seperti Irwandi Yusuf (wakil GAM di Aceh Monitoring Mission /AMM) - M. Nazar (ketua presidium SIRA /kelompok yang memperjuangkan referendum bagi Aceh)., Hasbi Abdullah, maupun tokoh-tokoh GAM di daerah seperti, Munawarliza Zain/Islamuddin ST (calon walikota/wakil walikota Sabang), Ilyas Hamid/Syarifuddin (Cabup/Cawabup Aceh Utara), Sulaiman-Muslim ( calon bupati/wakil bupati Aceh timur), Mirza (Calon Bupati Pidie), Lingga Kinsyah (calon Bupati Aceh Tenggah), Fauzan Azima (calon Bupati Bener Meriah), Ramli ( Calon Bupati Aceh Barat), M.Azhar (calon Bupati Abdya), Teuku Suhaidi Yahya (calon Walikota Lhokseumawe), Ir Rusman (calon Bupati Aceh Tamiang), Asmadi Syam ( calon Bupati Nagan Raya) dan Taufik Afdal ( calon walikota Banda Aceh) beramai-ramai mengikuti Pilkada Aceh.

Keikutsertaan tokoh-tokoh GAM dalam Pilkada Aceh, kurang diperhitungkan oleh para pesaing mereka maupun para pengamat. Mereka dianggap tidak memiliki pengalaman dalam kepemerintahan apalagi sebagian besar peserta Pilkada Aceh dari unsur GAM merupakan mantan kombatan yang selama ini berada di gunung dan hutan-hutan. Selain itu juga para pesaing maupun pengamat menganggap para tokoh GAM tidak memiliki mesin politik seperti yang dimiliki oleh para pesaingnya terutama yang berasal dari partai. Namun dalam kenyataannya ketika dilaksanakan penghitungan suara, banyak tokoh GAM memenangi pemilihan diberbagai daerah di Aceh termasuk pasangan Irwandi Yusuf- M. Nazar sebagai Gubernur/wakil Gubernur Aceh. Hal ini tentunya menjadi kejutan bagi semua pihak dan merupakan tamparan yang cukup keras bagi partai politik yang ada di Aceh. Terlepas dari persoalan ideologi GAM (yang mudah-mudahan sudah tidak memiliki keinginan untuk melepaskan diri dari NKRI) ,kemenangan para tokoh GAM menimbulkan pertanyaan besar dari berbagai kalangan, baik para politisi sendiri maupun para pengamat politik.

Sosok pemilih yang ideal yang sekaligus menjadi asumsi penyokong legitimasi sistem pemilihan demokratis adalah seorang warga negara yang memiliki kemampuan untuk mengetahui konsekuensi dari pilihannya; sehingga ketika seluruh pilihan rasional individu ini dikumpulkan, kita akan mengetahui kehendak rakyat. Karenanya demokrasi sering dianggap superior terhadap sistem yang berdasarkan keniscayaan sejarah (komunisme) atau hak absolut (kerajaan atau teokrasi) karena demokrasi dapat dikonfirmasi secara empiris melalui pemilihan umum. Namun dalam kenyataannya pemilih di Indonesia merupakan pemilih apolitis / pemilih mengambang dalam artian sebagaian pemilih di Indonesia bukanlah anggota partai atau organisasi yang diharuskan untuk memilih dan telah memiliki calon yang dipuja-puja. Para pemilih apolitis ini menganggap bahwa pemilihan bukanlah aktivitas politis yang memerlukan pemikiran yang mendalam melainkan sebagai sebuah peristiwa sosial biasa. Menurut sebuah teori pemilu dikatakan bahwa pilihan pemilih dijatuhkan hanya berdasar slogan, berita sensasional, salah informasi, kecenderungan pribadi, dan perasaan. Meskipun mereka berpikir secara politis dan berasumsi telah menganalisa posisi masing-masing kandidat, mereka tetap awam secara politik. Mereka tidak mengerti arti dan konsekuensi dari program yang ditawarkan para kandidat. Mereka tidak bisa menghubungkan posisi kandidat dengan kebijakan. Dilihat dari teori ini maka hasil pemilu tidak lebih dari proses acak.

Teori lain menyatakan pilihan ditentukan oleh opini elit. Disini juga posisi terhadap issu dan kebijakan calon presiden tidak penting. Dalam teori ini pertarungan politik adalah pertarungan antar elit. Demokrasi menjadi oligarki dengan wajah populis.

Noelle-Neumann mengatakan bahwa meskipun memilih adalah aktivitas privat yang dilakukan sendirian di dalam bilik suara. Pilihan tidak dilakukan secara rasional dimana yang menentukan adalah hitungan untung-rugi bagi si pemilih. Absennya rasionalitas tidak hanya disebabkan oleh kekurangan intelegensia atau minimnya pendidikan, tetapi lebih karena tidak adanya ketertarikan serius terhadap politik. Pemilih bukanlah kalkulator rasional yang hanya mengutamakan kepentingan dirinya. Tapi mereka pun tidak memilih secara asal-asalan. Manusia mungkin bukan makhluk politik, tapi ia adalah mahluk sosial. Lontaran ide dari kandidat atau komentator politik hanya akan diterima seseorang jika cocok dengan pendapat lingkaran sosialnya.

Dari berbagai analisa yang dikemukakan oleh para pengamat maupun para politisi terlihat ada beberapa penyebab mengapa para tokoh GAM memenangi Pilkada diberbagai daerah di Aceh, yaitu ; Adanya kesamaan pandangan antara GAM dengan pemilih, Adanya keinginan dari masyarakat untuk suatu perubahan, dan kedekatan kultural antara GAM dengan pemilih.

Kesamaan Pandangan

Berpuluh tahun Aceh dilanda konflik bersenjata yang berkepanjangan. Perasaan sedih, dendam, takut, pasrah berkecamuk didalam benak setiap orang yang ada di Aceh baik korban langsung maupun tidak langsung. Dalam setiap doa mereka selalu berharap lingkaran setan konflik di Aceh dapat berkesudahan dan pada akhirnya doa mereka dapat dikabulkan melalui penandatangganan perjanjian Mou di Helsinki.

Dengan adanya perjanjian tersebut, rakyat Aceh dapat menjalani kehidupannya dengan aman dan damai tanpa sedikitpun merasa khawatir.

Perasaan ketidaksenangan rakyat Aceh terhadap pemerintah pusat akibat kesalahan dalam mengambil kebijaksanaan penyelesaian konflik di Aceh tidak dapat begitu saja hilang dari ingatan rakyat Aceh. Rasa ketidakadilan yang dirasakan oleh rakyat Aceh selama ini ternyata tidak bisa dihapus begitu saja oleh kebijaksanaan yang mengedepankan kekuatan militer. Apalagi bagi masyarakat yang tinggal di daerah konflik seperti Pidie, Aceh Utara, Aceh Timur, Aceh Barat, rasa ketidaksukaan pada pemerintah dapat dikatakan telah menebal dan diwariskan secara turun menurun dari generasi ke generasi.

Pelaksanaan Pilkada Aceh membuka kesempatan terbuka bagi rakyat Aceh dalam menentukan nasibnya sendiri tanpa di hantui rasa ketakutan. Mereka memilih para kandidat yang dianggap dapat mewakili mereka dan menyerap aspirasi rakyat guna membangun Aceh secara damai dan bermartabat.

Selama ini rakyat Aceh merasa putus asa dengan sikap para pemimpin daerah yang tidak pernah mendengarkan mereka sehingga timbul pemikiran bahwa rakyat sengaja dibiarkan menderita.

Adanya beberapa tokoh GAM yang ikut dalam Pilkada Aceh menjadi angin segar bagi rakyat yang merasa aspirasinya selama ini tersumbat. Menurut mereka para tokoh GAM tersebut dapat mewujudkan keinginan rakyat untuk hidup makmur. Mereka melihat bahwa selama ini hanya GAM yang berani melawan kesewenang-wenangan pemerintah pusat (diluar cita-citanya yang ingin memisahkan diri dari NKRI) dibanding tokoh masyarakat lainnya. Maka tidak mengherankan jika dalam Pilkada Aceh kali ini para tokoh GAM mendapat dukungan diberbagai daerah terutama daerah-daerah konflik.

Berharap Perubahan

Berdasarkan pengalaman yang terjadi pada saat pemilihan langsung Presiden, tahun 2004. Pemilih di Aceh sebagaimana pemilih didaerah lain di Indonesia banyak yang termasuk kedalam pemilih apolitis/mengambang, mereka tidak memahami berbagai program dan selogan yang dilontarkan para kandidat selama kampanye. Namun bukan berarti mereka milih secara acak, mereka memilih berdasarkan faktor-faktor psikologis, diantaranya keinginan untuk mendapatkan suatu perubahan.

Faktor keinginan untuk mendapat perubahan di setiap pergantian kekuasaan merupakan sebuah fenomena umum yang terjadi di Indonesia. Menurut Fachry Ali, kemenangan GAM dalam Pilkada di Aceh merupakan suatu Mitologi sesaat sebagaimana yang terjadi ketika Megawati mampu memimpin partainya menjadi pemenang pemilu. Masyarakat saat itu berharap Megawati dapat menjadi “Ratu Adil”. Demikian pula ketika SBY-Jk memenangkan pemilu 2004, banyak pemilih pada saat itu melihat pasangan SBY-JK dapat membawa perubahan bagi kehidupan masyarakat Indonesia yang sudah tidak percaya lagi dengan kepemimpinan Megawati. Dengan demikian kemenangan GAM dapat dikatakan sebagai hasil dari pilihan naluri emosional masyarakat Aceh.[1]

Keinginan masyarakat Aceh untuk mendapat suatu perubahan terjadi karena mereka tidak percaya lagi dengan para pemimpin daerah yang dianggap tidak dapat mensejahterakan rakyat. Para pemilih di Aceh sudah lelah terhadap pemimpin-pemimpin Aceh yang hanya berani berjanji disaat kampanye, namun minim realisasi di lapangan. Sejak Aceh diselubungi kemelut konflik bersenjata, tidak ada satupun kebijakan dari pemimpin daerah yang mampu menyelesaikan persoalan Aceh sampai ke akar-akarnya. Mulai dari persoalan kesenjangan sosial dan ekonomi, pelanggaran HAM, pengelolaan sumber daya alam, reintegrasi GAM, sampai dengan persoalan-persoalan pasca Tsunami.

Mereka muak dengan perilaku para pemimpin daerah yang lebih mementingkan kesejahteraan diri, keluarga dan kelompok dibanding kesejahteraan rakyat. Kasus korupsi yang dilakukan oleh mantan Gubernur Aceh, Abdullah Puteh merupakan contoh dari ketidakpedulian kaum birokrat terhadap rakyat.

Ketidaksukaan masyarakat tersebut berimbas pada para kandidat yang ikut dalam pilkada Aceh yang notabene banyak diikuti oleh para mantan pejabat. Banyak dari kandidat tersebut memiliki catatan yang buruk di mata pemilih. Oleh sebab itu pemilih mengalihkan pilihannya pada kandidat muka baru yang menurut mereka belum tercemar dari ketidakpedulian pada rakyat yang kebetulan berasal dari kelompok GAM. Para pemilih di Aceh banyak yang memilih muka-muka baru tersebut tanpa memandang asal muasal kandidat tersebut. Bagi mereka yang terpenting adalah adanya perubahan yang dapat memperbaiki nasib mereka.

Kedekatan Kultural

Manusia merupakan makhluk sosial. Dalam berhubungan dengan orang lain, mereka akan sangat nyaman jika orang tersebut memiliki kesamaan dengan dirinya. Kesamaan tersebut dapat berupa kesamaan darah, keturunan, asal tempat tinggal, agama, maupun budaya.

Demikian juga ketika seorang pemilih dalam pemilihan kepala daerah, maka pemilih tersebut akan memilih kandidat yang memiliki kesamaan dengan pemilih, baik itu ideologi, pandangan, dan bahkan kesamaan kultural.

Bagi masyarakat Aceh yang dikenal sangat kuat dalam memegang adat, mereka akan memilih kandidat yang banyak atau mendekati persamaannya dengan diri mereka. Hal ini terjadi ketika dalam pemilihan langsung Presiden R.I tahun 2004. Mereka banyak yang tidak mengenal kandidat presiden. Dari 4 kandidat presiden pada saat itu, nama Amin Rais lebih mendekati kedekatan kultural karena nama tersebut kental bernafas Islam sebagaimana nama-nama orang Aceh. Maka tidak mengherankan Amin Rais unggul di Aceh.

Demikian pula yang terjadi pada pilkada Aceh kali ini. Mereka memilih kandidat dari GAM yang dalam penampilannya, baik pada saat kampanye, brosur, selebaran, baliho, maupun foto dalam surat pemilih selalu mengunakan atribut kedaerahan.

Pengunaan atribut kedaerahan yang dilakukan GAM selama proses Pilkada diakui sangat efektif. Bahkan menurut Soemarsono, Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar , dikatakan bahwa salah satu kunci dari kemenangan pasangan independen calon Gubernur asal Gerakan Aceh Merdeka (GAM), yaitu pasangan Irwandi Yusuf dengan Muhammad Nazar adalah busana adat Aceh yang dikenakan mereka saat berkampanye maupun saat dimuat dalam foto di kartu pemilih dan poster-poster lainnya. "Dari delapan pasangan calon Gubernur Provinsi NAD, tidak ada yang tampil dengan busana adat Aceh seperti Irwandi dan Muhammad Nazar. Mereka lainnya menggunakan busana formal. Padahal, di masyarakat Aceh mereka masih sangat memegang adat istiadat masyarakat Aceh. Maka, tentu saja pasti menang Irwandi Yusuf," ujar Soemarsono.[2]

Penutup

Hasil pemilihan umum seringkali dianggap sebagai kehendak rakyat. Oleh sebab itu demokrasi sering dianggap superior terhadap sistem yang berdasarkan keniscayaan sejarah (komunisme) atau hak absolut (kerajaan atau teokrasi) karena demokrasi dapat dikonfirmasi secara empiris melalui pemilihan umum. Namun dalam kenyataannya pemilihan umum tidak sepenuhnya mencerminkan kehendak rakyat. Hal ini terjadi karena banyak pemilih tidak memiliki pengetahuan yang cukup mengenai program-program yang ditawarkan oleh para kandidat. Bahkan tidak sedikit pemilih yang memilih kandidat berdasarkan kedekatan, baik pandangan, sosial, maupun kultural.

Demikian pula yang terjadi pada pilkada Aceh kali ini, kemenangan GAM tidak sepenuhnya merupakan kehendak rakyat. Bahkan hal ini bisa jadi merupakan sebuah keinginan sesaat dari rakyat Aceh. Apabila hal ini yang terjadi tentunya merupakan tugas yang sangat berat dari GAM dalam memimpin rakyat Aceh menuju kedamaian dan kemakmuran.

Rakyat memiliki pengharapan yang cukup tinggi terhadap kinerja GAM dalam memimpin Aceh. Bahkan tidak sedikit rakyat yang menganggap GAM dapat merubah nasib mereka semudah membalikkan tangan. Apabila pengharapan tersebut tidak terpenuhi, maka hal ini menjadi bumerang bagi GAM dikemudian hari.

Untuk dapat memenuhi pengharapan rakyat GAM perlu melakukan kerjasama yang baik dengan semua pihak, baik dengan pemerintah pusat, legislatif daerah, birokrat, dan rakyat sendiri. Semua pihak harus memiliki persepsi yang sama yakni membangun Aceh demi kehidupan rakyat.



[1] Gatra, Mekar Bunga demokrasi Aceh, Gatra edisi No.05 Tahun XIII

[2] Kompas, Pakaian Adat Aceh Salah Satu Kunci Kemenangan GAM, 13-12-2006