Kamis, 26 April 2007

DIBALIK KEMENANGAN GAM

Penandatangganan Mou perdamaian antara Pemerintah R.I dengan GAM sangat disyukuri oleh semua pihak, tidak hanya masyarakat Aceh tetapi juga bangsa Indonesia yang menginginkan penyelesaian damai bagi konflik berkepanjangan di Aceh.

Salah satu implikasi dari perjanjian damai tersebut adalah diperbolehkannya rakyat Aceh mengadakan pemilihan langsung dan membuat partai lokal/jalur independen. Hal ini tentunya menjadi sebuah kesempatan emas bagi rakyat Aceh dalam membangun dan menata pemerintahannya sendiri yang memihak pada rakyat Aceh. Dari rakyat Aceh, Oleh Rakyat Aceh dan Untuk Rakyat Aceh.

Sedangkan bagi pemerintah pusat Pilkada Aceh merupakan ajang pembuktian keseriusan pemerintah dalam membangun Aceh yang damai, dimana selama ini banyak anggota masyarakat Aceh yang meragukan akan keseriusan pemerintah pusat. Selain itu juga penyelenggaraan Pilkada menjadi sebuah prestise bagi seluruh bangsa Indonesia dan pemerintahan SBY-Kalla. Seperti kita ketahui bahwa perjanjian damai antara Pemerintah R.I dan GAM menjadi suatu contoh konkrit bagi penyelesaian konflik secara damai di seluruh belahan dunia.

Sebagai bagian dari proses perjanjian damai tersebut penyelenggaraan pilkada tentunya mengarahkan mata dunia ke Aceh untuk melihat, mengawasi, dan mempelajari penyelenggaraan Pilkada.

Dengan dibukanya kesempatan bagi seluruh lapisan masyarakat Aceh untuk mencalonkan diri mengikuti Pilkada melalui jalur Independen tentunya menjadi peluang bagi GAM untuk memimpin pemerintahan di Aceh secara damai sesuai dengan Mou. Maka tidak mengherankan walaupun secara kelembagaan GAM tidak mengikuti Pilkada, namun tokoh-tokoh GAM baik di tingkat pusat seperti Irwandi Yusuf (wakil GAM di Aceh Monitoring Mission /AMM) - M. Nazar (ketua presidium SIRA /kelompok yang memperjuangkan referendum bagi Aceh)., Hasbi Abdullah, maupun tokoh-tokoh GAM di daerah seperti, Munawarliza Zain/Islamuddin ST (calon walikota/wakil walikota Sabang), Ilyas Hamid/Syarifuddin (Cabup/Cawabup Aceh Utara), Sulaiman-Muslim ( calon bupati/wakil bupati Aceh timur), Mirza (Calon Bupati Pidie), Lingga Kinsyah (calon Bupati Aceh Tenggah), Fauzan Azima (calon Bupati Bener Meriah), Ramli ( Calon Bupati Aceh Barat), M.Azhar (calon Bupati Abdya), Teuku Suhaidi Yahya (calon Walikota Lhokseumawe), Ir Rusman (calon Bupati Aceh Tamiang), Asmadi Syam ( calon Bupati Nagan Raya) dan Taufik Afdal ( calon walikota Banda Aceh) beramai-ramai mengikuti Pilkada Aceh.

Keikutsertaan tokoh-tokoh GAM dalam Pilkada Aceh, kurang diperhitungkan oleh para pesaing mereka maupun para pengamat. Mereka dianggap tidak memiliki pengalaman dalam kepemerintahan apalagi sebagian besar peserta Pilkada Aceh dari unsur GAM merupakan mantan kombatan yang selama ini berada di gunung dan hutan-hutan. Selain itu juga para pesaing maupun pengamat menganggap para tokoh GAM tidak memiliki mesin politik seperti yang dimiliki oleh para pesaingnya terutama yang berasal dari partai. Namun dalam kenyataannya ketika dilaksanakan penghitungan suara, banyak tokoh GAM memenangi pemilihan diberbagai daerah di Aceh termasuk pasangan Irwandi Yusuf- M. Nazar sebagai Gubernur/wakil Gubernur Aceh. Hal ini tentunya menjadi kejutan bagi semua pihak dan merupakan tamparan yang cukup keras bagi partai politik yang ada di Aceh. Terlepas dari persoalan ideologi GAM (yang mudah-mudahan sudah tidak memiliki keinginan untuk melepaskan diri dari NKRI) ,kemenangan para tokoh GAM menimbulkan pertanyaan besar dari berbagai kalangan, baik para politisi sendiri maupun para pengamat politik.

Sosok pemilih yang ideal yang sekaligus menjadi asumsi penyokong legitimasi sistem pemilihan demokratis adalah seorang warga negara yang memiliki kemampuan untuk mengetahui konsekuensi dari pilihannya; sehingga ketika seluruh pilihan rasional individu ini dikumpulkan, kita akan mengetahui kehendak rakyat. Karenanya demokrasi sering dianggap superior terhadap sistem yang berdasarkan keniscayaan sejarah (komunisme) atau hak absolut (kerajaan atau teokrasi) karena demokrasi dapat dikonfirmasi secara empiris melalui pemilihan umum. Namun dalam kenyataannya pemilih di Indonesia merupakan pemilih apolitis / pemilih mengambang dalam artian sebagaian pemilih di Indonesia bukanlah anggota partai atau organisasi yang diharuskan untuk memilih dan telah memiliki calon yang dipuja-puja. Para pemilih apolitis ini menganggap bahwa pemilihan bukanlah aktivitas politis yang memerlukan pemikiran yang mendalam melainkan sebagai sebuah peristiwa sosial biasa. Menurut sebuah teori pemilu dikatakan bahwa pilihan pemilih dijatuhkan hanya berdasar slogan, berita sensasional, salah informasi, kecenderungan pribadi, dan perasaan. Meskipun mereka berpikir secara politis dan berasumsi telah menganalisa posisi masing-masing kandidat, mereka tetap awam secara politik. Mereka tidak mengerti arti dan konsekuensi dari program yang ditawarkan para kandidat. Mereka tidak bisa menghubungkan posisi kandidat dengan kebijakan. Dilihat dari teori ini maka hasil pemilu tidak lebih dari proses acak.

Teori lain menyatakan pilihan ditentukan oleh opini elit. Disini juga posisi terhadap issu dan kebijakan calon presiden tidak penting. Dalam teori ini pertarungan politik adalah pertarungan antar elit. Demokrasi menjadi oligarki dengan wajah populis.

Noelle-Neumann mengatakan bahwa meskipun memilih adalah aktivitas privat yang dilakukan sendirian di dalam bilik suara. Pilihan tidak dilakukan secara rasional dimana yang menentukan adalah hitungan untung-rugi bagi si pemilih. Absennya rasionalitas tidak hanya disebabkan oleh kekurangan intelegensia atau minimnya pendidikan, tetapi lebih karena tidak adanya ketertarikan serius terhadap politik. Pemilih bukanlah kalkulator rasional yang hanya mengutamakan kepentingan dirinya. Tapi mereka pun tidak memilih secara asal-asalan. Manusia mungkin bukan makhluk politik, tapi ia adalah mahluk sosial. Lontaran ide dari kandidat atau komentator politik hanya akan diterima seseorang jika cocok dengan pendapat lingkaran sosialnya.

Dari berbagai analisa yang dikemukakan oleh para pengamat maupun para politisi terlihat ada beberapa penyebab mengapa para tokoh GAM memenangi Pilkada diberbagai daerah di Aceh, yaitu ; Adanya kesamaan pandangan antara GAM dengan pemilih, Adanya keinginan dari masyarakat untuk suatu perubahan, dan kedekatan kultural antara GAM dengan pemilih.

Kesamaan Pandangan

Berpuluh tahun Aceh dilanda konflik bersenjata yang berkepanjangan. Perasaan sedih, dendam, takut, pasrah berkecamuk didalam benak setiap orang yang ada di Aceh baik korban langsung maupun tidak langsung. Dalam setiap doa mereka selalu berharap lingkaran setan konflik di Aceh dapat berkesudahan dan pada akhirnya doa mereka dapat dikabulkan melalui penandatangganan perjanjian Mou di Helsinki.

Dengan adanya perjanjian tersebut, rakyat Aceh dapat menjalani kehidupannya dengan aman dan damai tanpa sedikitpun merasa khawatir.

Perasaan ketidaksenangan rakyat Aceh terhadap pemerintah pusat akibat kesalahan dalam mengambil kebijaksanaan penyelesaian konflik di Aceh tidak dapat begitu saja hilang dari ingatan rakyat Aceh. Rasa ketidakadilan yang dirasakan oleh rakyat Aceh selama ini ternyata tidak bisa dihapus begitu saja oleh kebijaksanaan yang mengedepankan kekuatan militer. Apalagi bagi masyarakat yang tinggal di daerah konflik seperti Pidie, Aceh Utara, Aceh Timur, Aceh Barat, rasa ketidaksukaan pada pemerintah dapat dikatakan telah menebal dan diwariskan secara turun menurun dari generasi ke generasi.

Pelaksanaan Pilkada Aceh membuka kesempatan terbuka bagi rakyat Aceh dalam menentukan nasibnya sendiri tanpa di hantui rasa ketakutan. Mereka memilih para kandidat yang dianggap dapat mewakili mereka dan menyerap aspirasi rakyat guna membangun Aceh secara damai dan bermartabat.

Selama ini rakyat Aceh merasa putus asa dengan sikap para pemimpin daerah yang tidak pernah mendengarkan mereka sehingga timbul pemikiran bahwa rakyat sengaja dibiarkan menderita.

Adanya beberapa tokoh GAM yang ikut dalam Pilkada Aceh menjadi angin segar bagi rakyat yang merasa aspirasinya selama ini tersumbat. Menurut mereka para tokoh GAM tersebut dapat mewujudkan keinginan rakyat untuk hidup makmur. Mereka melihat bahwa selama ini hanya GAM yang berani melawan kesewenang-wenangan pemerintah pusat (diluar cita-citanya yang ingin memisahkan diri dari NKRI) dibanding tokoh masyarakat lainnya. Maka tidak mengherankan jika dalam Pilkada Aceh kali ini para tokoh GAM mendapat dukungan diberbagai daerah terutama daerah-daerah konflik.

Berharap Perubahan

Berdasarkan pengalaman yang terjadi pada saat pemilihan langsung Presiden, tahun 2004. Pemilih di Aceh sebagaimana pemilih didaerah lain di Indonesia banyak yang termasuk kedalam pemilih apolitis/mengambang, mereka tidak memahami berbagai program dan selogan yang dilontarkan para kandidat selama kampanye. Namun bukan berarti mereka milih secara acak, mereka memilih berdasarkan faktor-faktor psikologis, diantaranya keinginan untuk mendapatkan suatu perubahan.

Faktor keinginan untuk mendapat perubahan di setiap pergantian kekuasaan merupakan sebuah fenomena umum yang terjadi di Indonesia. Menurut Fachry Ali, kemenangan GAM dalam Pilkada di Aceh merupakan suatu Mitologi sesaat sebagaimana yang terjadi ketika Megawati mampu memimpin partainya menjadi pemenang pemilu. Masyarakat saat itu berharap Megawati dapat menjadi “Ratu Adil”. Demikian pula ketika SBY-Jk memenangkan pemilu 2004, banyak pemilih pada saat itu melihat pasangan SBY-JK dapat membawa perubahan bagi kehidupan masyarakat Indonesia yang sudah tidak percaya lagi dengan kepemimpinan Megawati. Dengan demikian kemenangan GAM dapat dikatakan sebagai hasil dari pilihan naluri emosional masyarakat Aceh.[1]

Keinginan masyarakat Aceh untuk mendapat suatu perubahan terjadi karena mereka tidak percaya lagi dengan para pemimpin daerah yang dianggap tidak dapat mensejahterakan rakyat. Para pemilih di Aceh sudah lelah terhadap pemimpin-pemimpin Aceh yang hanya berani berjanji disaat kampanye, namun minim realisasi di lapangan. Sejak Aceh diselubungi kemelut konflik bersenjata, tidak ada satupun kebijakan dari pemimpin daerah yang mampu menyelesaikan persoalan Aceh sampai ke akar-akarnya. Mulai dari persoalan kesenjangan sosial dan ekonomi, pelanggaran HAM, pengelolaan sumber daya alam, reintegrasi GAM, sampai dengan persoalan-persoalan pasca Tsunami.

Mereka muak dengan perilaku para pemimpin daerah yang lebih mementingkan kesejahteraan diri, keluarga dan kelompok dibanding kesejahteraan rakyat. Kasus korupsi yang dilakukan oleh mantan Gubernur Aceh, Abdullah Puteh merupakan contoh dari ketidakpedulian kaum birokrat terhadap rakyat.

Ketidaksukaan masyarakat tersebut berimbas pada para kandidat yang ikut dalam pilkada Aceh yang notabene banyak diikuti oleh para mantan pejabat. Banyak dari kandidat tersebut memiliki catatan yang buruk di mata pemilih. Oleh sebab itu pemilih mengalihkan pilihannya pada kandidat muka baru yang menurut mereka belum tercemar dari ketidakpedulian pada rakyat yang kebetulan berasal dari kelompok GAM. Para pemilih di Aceh banyak yang memilih muka-muka baru tersebut tanpa memandang asal muasal kandidat tersebut. Bagi mereka yang terpenting adalah adanya perubahan yang dapat memperbaiki nasib mereka.

Kedekatan Kultural

Manusia merupakan makhluk sosial. Dalam berhubungan dengan orang lain, mereka akan sangat nyaman jika orang tersebut memiliki kesamaan dengan dirinya. Kesamaan tersebut dapat berupa kesamaan darah, keturunan, asal tempat tinggal, agama, maupun budaya.

Demikian juga ketika seorang pemilih dalam pemilihan kepala daerah, maka pemilih tersebut akan memilih kandidat yang memiliki kesamaan dengan pemilih, baik itu ideologi, pandangan, dan bahkan kesamaan kultural.

Bagi masyarakat Aceh yang dikenal sangat kuat dalam memegang adat, mereka akan memilih kandidat yang banyak atau mendekati persamaannya dengan diri mereka. Hal ini terjadi ketika dalam pemilihan langsung Presiden R.I tahun 2004. Mereka banyak yang tidak mengenal kandidat presiden. Dari 4 kandidat presiden pada saat itu, nama Amin Rais lebih mendekati kedekatan kultural karena nama tersebut kental bernafas Islam sebagaimana nama-nama orang Aceh. Maka tidak mengherankan Amin Rais unggul di Aceh.

Demikian pula yang terjadi pada pilkada Aceh kali ini. Mereka memilih kandidat dari GAM yang dalam penampilannya, baik pada saat kampanye, brosur, selebaran, baliho, maupun foto dalam surat pemilih selalu mengunakan atribut kedaerahan.

Pengunaan atribut kedaerahan yang dilakukan GAM selama proses Pilkada diakui sangat efektif. Bahkan menurut Soemarsono, Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar , dikatakan bahwa salah satu kunci dari kemenangan pasangan independen calon Gubernur asal Gerakan Aceh Merdeka (GAM), yaitu pasangan Irwandi Yusuf dengan Muhammad Nazar adalah busana adat Aceh yang dikenakan mereka saat berkampanye maupun saat dimuat dalam foto di kartu pemilih dan poster-poster lainnya. "Dari delapan pasangan calon Gubernur Provinsi NAD, tidak ada yang tampil dengan busana adat Aceh seperti Irwandi dan Muhammad Nazar. Mereka lainnya menggunakan busana formal. Padahal, di masyarakat Aceh mereka masih sangat memegang adat istiadat masyarakat Aceh. Maka, tentu saja pasti menang Irwandi Yusuf," ujar Soemarsono.[2]

Penutup

Hasil pemilihan umum seringkali dianggap sebagai kehendak rakyat. Oleh sebab itu demokrasi sering dianggap superior terhadap sistem yang berdasarkan keniscayaan sejarah (komunisme) atau hak absolut (kerajaan atau teokrasi) karena demokrasi dapat dikonfirmasi secara empiris melalui pemilihan umum. Namun dalam kenyataannya pemilihan umum tidak sepenuhnya mencerminkan kehendak rakyat. Hal ini terjadi karena banyak pemilih tidak memiliki pengetahuan yang cukup mengenai program-program yang ditawarkan oleh para kandidat. Bahkan tidak sedikit pemilih yang memilih kandidat berdasarkan kedekatan, baik pandangan, sosial, maupun kultural.

Demikian pula yang terjadi pada pilkada Aceh kali ini, kemenangan GAM tidak sepenuhnya merupakan kehendak rakyat. Bahkan hal ini bisa jadi merupakan sebuah keinginan sesaat dari rakyat Aceh. Apabila hal ini yang terjadi tentunya merupakan tugas yang sangat berat dari GAM dalam memimpin rakyat Aceh menuju kedamaian dan kemakmuran.

Rakyat memiliki pengharapan yang cukup tinggi terhadap kinerja GAM dalam memimpin Aceh. Bahkan tidak sedikit rakyat yang menganggap GAM dapat merubah nasib mereka semudah membalikkan tangan. Apabila pengharapan tersebut tidak terpenuhi, maka hal ini menjadi bumerang bagi GAM dikemudian hari.

Untuk dapat memenuhi pengharapan rakyat GAM perlu melakukan kerjasama yang baik dengan semua pihak, baik dengan pemerintah pusat, legislatif daerah, birokrat, dan rakyat sendiri. Semua pihak harus memiliki persepsi yang sama yakni membangun Aceh demi kehidupan rakyat.



[1] Gatra, Mekar Bunga demokrasi Aceh, Gatra edisi No.05 Tahun XIII

[2] Kompas, Pakaian Adat Aceh Salah Satu Kunci Kemenangan GAM, 13-12-2006

0 komentar: