Selasa, 21 Agustus 2007

PEMBAGIAN WILAYAH FISIK MASYARAKAT PAKPAK DALAM PENDEKATAN ETNOEKOLOGI

Pendahuluan

Dalam kehidupannya, manusia memiliki berbagai kebutuhan hidup guna menunjang kehidupannya. Untuk memenuhi berbagai kebutuhannya tersebut, manusia melakukan berbagai aktifitas. Aktifitas yang dilakukan manusia untuk memenuhi kebutuhannya berbeda caranya dengan hewan. Hewan dalam memenuhi kebutuhannya selalu mengandalkan insting yang tajam, sedangkan manusia tidak memiliki insting yang hebat sebagaimana hewan. Oleh sebab itu manusia mengunakan kebudayaan yang mengajarkan cara hidup.

Kebudayaan menurut pada dasarnya terdiri dari pola-pola pengetahuan, penilaian dan simbol 1. (1) Pola-pola pengetahuan disebut juga dengan pola bagi yang artinya suatu pengetahuan yang ada dikepala manusia untuk membentuk gejala sosial di alam nyata, sebagai contoh bentuk bangunan yang akan didirikan. Pola-pola bangunan telah ada dalam pengetahuan si arsitek sedangkan bentuk bangunan secara nyatanya belum terjadi. Atau dalam bentuk tindakan adalah tindakan-tindakan apa yang akan dilakukan berkenaan dengan gejala yang dihadapi.

(2) Pola-pola penilaian disebut juga dengan pola dari atau suatu gejala yang tampak nyata diberi penilaian dan dimasukkan kedalam penilaian budaya diberikan suatu pola tertentu, jadi suatu gejala yang tampak nyata diartikan dan diterjemahkan (ditafsirkan). Gejala-gejala yang tampak nyata yang ada di luar tubuh manusia dipahami dan diberi penilaian, sehingga manusia dapat memberikan penilaian atas gejala yang tampak sebagai sesuatu yang baik atau buruk, dapat dimakan atau tidak, dsb.

(3) Bentuk ketiga adalah simbol, artinya bagaimana seseorang dari kebudayaan tertentu menghubungkan antara pola pengetahuan dan pola penilaian dengan simbol-simbol tertentu, sehingga kenyataan yang ada diterjemahkan dan dipahami menurut kebudayaan tertentu. Dan ditanggapi dengan suatu tindakan tertentu berkaitan dengan gejala yang tampak tadi.

Perwujudan kebudayaan melalui pengorganisasian antara pola bagi dan pola dari yang berbentuk simbol akan tampak sebagai suatu lingkungan binaan (bisa pola permukiman, kendaraan, model-model mata pencaharian dsb). Simbol-simbol inilah yang kemudian diinternalisasikan kepada orang lain (generasi selanjutnya) agar nilai-nilai budaya yang ada menjadi terkelola dan dapat menyesuaikan dirinya dengan segala perubahan yang terjadi di lingkungan hidup yang dihadapi individu-individunya sebagai anggota masyarakat.2

Namun secara pragmatis kebudayaan adalah kebiasaan suatu masyarakat yang bermanfaat untuk mempertahankan dan mengembangkan cara hidupnya oleh karena itu, kebudayaan yang merupakan kebiasaan hidup suatu masyarakat harus membawa masyarakat kearah lebih sejahtera dan atau lebih bahagia. Kemudian kebudayaan hanya dapat membahagiakan masyarakatnya tanpa ada hubungan dengan peningkatan kesejahteraan mereka atau kadang-kadang hanya menonjol pada peningkatan kesejahteraanya tanpa secara langsung memperlihatkan kedamaian pada diri mereka. Berdasarkan pemahaman tersebut, maka kebudayaan dapat didefinisikan sebagai Keseluruhan kebiasaan manusia yang tercermin dalam pengetahuan, tindakan dan hasil karyanya sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungannya dan yang menjadi pedoman tingkah lakunya untuk mencapai kedamaian dan atau kesejahteraan hidupnya. Kebudayaan harus dapat menjadikan masyarakatnya lebih damai dan lebih sejahtera, bukan sebaliknya menjadi beban masyarakatnya. Oleh karena itu semua kebudayaan yang tidak bermanfaat untuk kedamaian (kebahagiaan) dan kesejahteraan manusia akan punah secara alamiah.3

Semua suku bangsa dan etnis di Indonesia memiliki dan terikat secara kultural maupun sosial ekonomi atas aturan dan tatanan nilai tradisional yang mengacu kepada adat dan hukum adat dengan penselarasan hukum-hukum agama atau kepercayaan . Keunggulan nilai-nilai lama yang sebagian orang dikatakan ketinggalan zaman ini telah terbukti bermanfaat bagi upaya-upaya penyelamatan lingkungan.

Untuk mengetahui pemahaman masyarakat setempat terhadap pemaknaan lingkungan sekitarnya, antropologi memiliki berbagai pendekatan yang dapat dipergunakan, diantaranya adalah pendekatan Etnoekologi.


Etnoekologi

Pendekatan etnoekologi ini pertama kali diperkenalkan oleh ahli antropologi dengan latar belakang linguistik yang kuat, yaitu Conklin. Adapun tujuan dan metode pendekatan ini banyak berasal dari etnosains, sebagaimana kita ketahui bahwa etnosains bertujuan melukiskan lingkungan sebagaimana dilihat oleh masyarakat yang diteliti 4

Dengan demikian, tujuan pendekatan etnoekologi juga berusaha melukiskan lingkungan sebagaimana lingkungan tersebut dilihat oleh masyarakat yang diteliti. Asumsinya adalah bahwa “lingkungan efektif” (effective environment), yakni lingkungan yang berpengaruh terhadap perilaku manusia, mempunyai sifat kultural. Artinya, lingkungan tersebut merupakan lingkungan fisik yang telah diinterpretasikan, ditafsirkan lewat perangkat pengetahuan dan sistem nilai tertentu. Lingkungan yang telah ditafsirkan ini juga disebut sebagai “ethnoenvironment” atau “cognized environment” merupakan bagian dari sistem budaya suatu masyarakat yang dikodifikasi dalam bahasa. Lebih lanjut, sebagaimana dikemukakan oleh Ahimsa bahwa untuk memahami lingkungan tersebut yang menjadi sistem budaya suatu masyarakat yang kemudian dikodifikasi dalam bahasa, harus mengungkapkan taksonomi-taksonomi, klasifikasi-klasifikasi yang ada dalam istilah-istilah lokal, sebab dalam taksonomi dan klasifikasi inilah terkandung pernyataan-pernyataan dan ide-ide masyarakat yang kita teliti mengenai lingkungannya. Dan klasifikasi tentang lingkungan ini berisi berbagai informasi yang penting untuk mendapatkan etnoekologi masyarakat yang diteliti. Dan ini dimaksudkan untuk dapat menebak perilaku orang dalam berbagai aktivitas yang berkaitan dengan lingkungan.

Apa yang dikemukakan oleh Ahimsa di atas, sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Anderson bahwa para etnoekologis menekankan deskripsi pada lingkungan “perceptual” atau “cognized” pada kebudayaan spesifik sebagai suatu strategi penelitian dengan maksud: pertama, “to describe what people know about nature”; kedua, “to describe how people use this knowledge to get along in the world”. Karena pendekatan etnoekologi ini merupakan salah satu pendekatan tertentu yang berbeda dengan pendekatan lainnya dalam antropologi ekologi, dengan demikian pendekatan ini mempunyai ciri tertentu yang lain dari pendekatan lainnya. Dalam hal ini, Anderson menunjukkan lima (5) ciri pendekatan etnoekologi, antara lain: (1) etnoekologi menekankan pada “perceptual environment” dan secara umum kurang memperhatikan/mempertimbangkan secara serius interaksi antara domain kognitif atau dengan hasil lingkungan efektif yang hampir atau sedikit ada hubungan interaksional dengan pendekatan modern;(2) etnoekologi dimaksudkan mendeskripsikan secara emik domain budaya, meliputi “perseptual environment”. Secara mendasar, etnoekologi bermaksud menganalisis semantik secara formal; (3)analisis etnoekologi dibatasi pada salinghubungan ekologis yang bersifat intra cultural;(4) sepanjang etnoekologi berkaitan dengan lingkungan efektif, hal ini dimaksudkan untuk melakukan evaluasi dan prediksi efek dari kemungkinan perilaku yang bervariasi dalam partisipasi lingkungan mikro, yaitu lingkungan yang sering kali dibatasi untuk masyarakat lain; (5) etnoekologi membuat suatu asumsi dengan kadar yang tinggi terhadap homogenitas dan stabilitas di dalam kategorisasi budaya.5

Pembagian lingkungan fisik masyarakat PakPak

Etnoekologi sebagai suatu pendekatan dengan tujuan, metode dan ciri-cirinya sebagaimana telah saya sebutkan di atas, juga dapat digunakan untuk mengetahui masyarakat Pakpak di Suamtera Utara dalam mengkonsepsikan hutan sebagai lingkungannya dengan sistem nilai dan pengetahuan tertentu, yang berimplikasi terhadap perilaku atau interaksi mereka dengan hutan atau lingkungannya sendiri.

Dalam pandangan atau sistem pengetahuan masyarakat, lingkungan fisik dikatagorikan sesuai dengan sistem pengetahuan kebudayaan (tradisional )mereka.

Dasar pengkategorian lingkugan fisik, baik berupa lingkungan alam ataupun lingkungan budaya (buatan manusia), kelihatannya keadaan vegetasi menjadi salah satu parameter. Tetumbuhan yang hidup di suatu wilayah tertentu dan dengan sifat tumbuh yang tersendiri, turut menentukan sifat dan keadaan wilayah itu.

Suatu areal yang ditumbuhi oleh pohon besar, rindang dan nanpak lebat, itu dinamakan Karangen (hutan). Karangen ini juga dibagi lagi oleh masyarakat Pakpak menjadi beberapa kategori, yaitu Karangen longo-longo dan Rambah ntua.

Karangen longo-longo merupakan suatu kawasan hutan yang sangat lebat, dan biasanya sudah berumur tua serta tidak pernah dimasuki oleh manusia. Dalam kawasan ini pepohonan yang tumbuh adalah pohon-pohon besar dengan daun-daunnya yang lebat. Tanah yang ada dalam kawasan ini sangat subur karena merupakan tanah basah yang diselimuti oleh dedaunan maupun dahan rontok. Dedaunan dan dahan yang rontok ini lambat laun membusuk dan melapuk yang pada akhirnya menjadi pupuk alami bagi tanah di kawasan tersebut. Oleh sebab itu berbagai tetumbuhan akan tumbuh dengan sangat subur di kawasan ini. Selain itu juga di dalam kawasan hutan ini terdapat banyak mata air yang biasanya berada pada pepohonan yang sangat lebat.

. Masyarakat Pak-pak percaya bahwa dalam hutan ini dihuni oleh suatu kekuatan yang disebut Begu (roh). Atas dasar pemikiran tersebut, mereka beranggapan bahwa kawasan karangen logo-logo ini merupakan kawasan yang dimiliki oleh Begu.Oleh sebab itu kawasan ini juga dikenal dengan nama Rambah Begu (hutan yang didiami oleh begu).

Kepemilikan begu atas karangen longo-longo mencakup bukan saja tetumbuhan, tanah dan air yang ada di sana melainkan juga termasuk seluruh hewan mulai dari yang paling kecil sampai dengan yang paling besar.

Manusia sedapat mungkin untuk tidak memasuki wilayah tersebut. Tidak diperkenankan bagi setiap orang untuk mengambil sesuatu baik itu kayu ataupun dedaunan di kawasan tersebut. Apabila ada orang yang melanggar dikhawatirkan pemiliknya akan marah dan menghukum manusia yang ada di sekitar kawasan. Berhak atau tidaknya seseorang atau sekelompok orang mengambil sesuatu yang ada di dalam hutan tergantung dari kesediaan begu sebagai pemilik hutan. Oleh sebab itu jika dengan sangat terpaksa masyarakat sekitar ingin mengambil sesuatu dari kawasan tersebut maka perlu diadakan suatu upacara keselamatan yang dimaksud untuk medapat izin dari begu.

Sehubungan dengan kepemilikan begu atas semua yang ada dalam hutan, maka dalam beberapa hal penghuni hutan itu pun memiliki sifat-sifat yang dianggap sebagai penjelmaan dari sifat-sifat begu pemiliknya. Penjelmaan sifat-sifat begu dapat berwujud ular-ular besar, harimau, rusa, dan pohon-pohon besar. Oleh sebab itu perlakuan manusiapun terhadap beberapa jenis hewan dan tumbuhan itu boleh dibilang agak luar biasa.

Orang PakPak menggelari harimau sebagai Ompung Daoh (nenek jauh). Ia dianggap dapat berpikir selain mempunyai kekuatan yang jauh melebihi kekuatan manusia. Diperkirakan kekuatan (Gegoh) seekor harimau sama dengan kekuatan 48 orang. Tetapi diyakini apabila harimau sempat memakan seseorang manusia saja, maka balasannya sampai kapanpun harimau tidak mungkin mendapat makanan apa-apa lagi. Katanya harimau juga takut atau enggan memakan manusia. Lebih-lebih harimau juga bisa melihat bekas-bekas perbuatan manusia yang melampaui kemampuannya, misalnya dalam hal memotong kayu-kayu dihutan.

Seseorang yang memasuki hutan selalu membawa golok, sambil berjalan mengarungi semak belukar, orang akan menebas atau memancung pohon-pohon kecil ataupun semak belukar yang menghadang perjalanannya. Ini namanya menaldik. Yang menyebabkan harimau takut pada manusia adalah : kemampuan manusia memotong kayu-kayu kecil dengan begitu rapi; bekas potonganya begitu rapi, rata dan runcing. Sementara harimau takut menghadapi manusia.

Hewan lain seperti rusa, bisa juga kelihatan berlaku aneh. Keanehannya, rusa bisa berganti warna dalam seketika. Malahan, tanduk yang semuala kecil bisa berubah menjadi besar dan bercabang. Menurut masyarakat setempat rusa seperti itu merupakan penjelmaan dari begu.

Begu penguasa hutan dapat juga menjelma atau menghinggapi (menempati) pohon-pohon besar. Pohon besar yang sering didiami oleh begu antara lain : pohon ara, pohon kasumpet dan pohon beringin yang hidup dekat mata-mata air di hutan atau di tempat lainnya.

Di luar kawasan karangen longo-longo terdapat kawasan hutan yang usianya relatif muda (sekitar 15 tahunan). Kawasan ini sebetulnya berupa hutan sekunder; yaitu suatu kawasan yang kembali menjadi hutan setelah dalam waktu yang lama ditinggalkan atau diistirahatkan dari kegiatan perladangan.

Di areal ini biasanya terdapat pohon-pohon besar dan tidak pernah terdapat alang-alang (rih). Menurut pengetahuan masyarakat areal ini sudah mendapat kesuburan kembali setelah hilang beberapa lama setelah menjadi areal perladangan beberapa tahun sebelumnya. Kawasan dimaksud diberi sebutan Rambah ntua.

Selain rambah ntua terdapat rambah keddep ; yaitu suatu areal yang luas ditumbuhi oleh lalang dan kayu-kayuan yang belum besar. Perihal kejadian padang alang-alang di areal itu dikatakan karena telah ditinggal orang ; tidak diladangkan lagi. Biasanya di areal ini digembalakan bermacam-macam ternak; seperti sapi, kerbau, kambing maupun kuda.

Selanjutnya ada kawasan lain, berupa aeral lahan yang di atasnya tumbuh beraneka ragam jenis tanaman budidaya. Kawasan ini dinamakan pertahuman (perladangan). Andaikan pertahuman ditanami padi, itu disebut perjuman ; sedangkan areal bekas penanaman padi tahun sebelumnya dinamakan nggala. Tetapi apabila areal lahan itu ditanamai ubi kayu atau tanaman usia muda lainnya biasanya areal berdekatan dengan pemukiman itu dinamakan pekken. Sementara, lahan yang di atasnya terdapat tanaman-tanaman keras seperti durian (terutung), kelapa (neur), jengkol (Jering) dan lain-lain dinamakan Bungus.6

Penutup

Apabila kita amati uraian di atas mengenai pembagian kawasan fisik oleh masyarakat pak-pak, maka terlihat bahwa tradisi dan pengetahuan masyarakat dengan sendirinya menjaga kelestarian hutan.

Kepercayaan masyarakat terhadap Begu (roh) pemilik hutan menjadi suatu kendali sosial yang ada pada masyarakat dalam pemanfaatan hutan. Dengan adanya kepercayaan seperti itu, masyarakat akan berpikir dua kali untuk merusak hutan yang ada di sekitarnya. Namun sebagaimana teori yang mengatakan bahwa kebudayaan akan berubah mengikuti perkembangan yang ada.

Dengan semakin pesatnya perkembangan yang terjadi pada masyarakat sekitar hutan, maka kebutuhan akan materipun semakin meningkat. Dalam rangka mengejar kebutuhan materi tersebut, kadangkala manusia melanggar berbagai pantangan adat yang dianggap sebagai penghalang. Ketika para pelangar adat tersebut dibiarkan melakukan pelanggaran, maka hal tersebut akan diikuti oleh anggota masyarakat yang lain. Pada akhirnya kebudayaan yang ada menjadi usang dan tidak bermanfaat lagi bagi masyarakat dan pada akhirnya akan hilang dengan sendirinya.

Banyak di antara anggota masyarakat sekitar hutan mulai tergoda untuk merambah hutan yang telah lama dilestarikan oleh para leluhur. Ketika pelanggaran tersebut tidak mendapat rintangan baik secara fisik maupun non fisik ( ganguan dari Begu), maka pelanggaran tersbut akan terus terjadi dan bahkan akan semakin banyak. Untuk itu perlu adanya revitalisasi budaya yang ada pada masyarakat Pak-pak. Dengan demikian masyarakat dapat mereaktualisasi pemahaman mereka terhadap hutan.

1 gertz

2 Bambang Rudito, Penataan Kembali Permukiman orang-orang Aceh Pasca Tsunami berdasarkan pada kebudayaan Aceh (khususnya daerah perkotaan, pedesaan dan di antaranya) atau Cultural Mapping, Laporan Survai Cultural Mapping, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, 2005

3 Robert Sibarani, Fungsi Bahasa Sebagai Perekat Budaya, makalah pada Temu Budaya Propinsi Sumatera Utara tahun 2002 di Brastagi, Sumatera Utara

4 Ahimsa,Putra HS, Antropologi Ekologi: Beberapa teori dan Perkembangannya dalam Masyarakat Indonesia, Alumni Bandung, Bandung,1994.

5 Muhammad Arifin, Lembo, Simpukng, dan Sipungk Klasifikasi Hutan dan Kebun Secara Tradisional Orang Dayak Benuaq, Tunjung dan Pasir di Kalimantan Timur (Suatu Studi Etnoekologi), www.ekonomirakyat.org. 2003



6 Zuraida Tanjung, Dkk, Kearifan Masyarakat Pedesaan Dalam Pemeliharaan Lingkungan Hidup Daerah Sumatera Utara,Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 1992

0 komentar: