Selasa, 21 Agustus 2007

UPACARA PERKAWINAN MASYARAKAT TAMIANG DAN PERUBAHANNYA

Pendahuluan

Kebudayaan merupakan suatu sistem makna simbolik. Seperti dalam bahasa, kebudayaan merupakan suatu sistem semiotik yang mengandung simbol-simbol yang berfungsi mengkomunikasikan maknanya dari pikiran seseorang ke pikiran-pikiran orang lain. Kebudayaan adalah objek, tindakan atau peristiwa dalam dunia yang dapat disaksikan, dirasakan dan dipahami yang mengisyaratkan makna-makna antar pikiran angota-angoota individual masyarakat.1

Salah satu ciri dari kebudayaan adalah bahwa setiap kebudayaan selalu akan mengalami perubahan atau berada dalam proses perubahan, cepat atau lambat. Makin mendalam terjadinya kontak-kontak kebudayaan atau komunikasi gagasan-gagasan baru dari luar makin pesat berlangsungnya proses perubahan.

Berubah atau tidaknya suatu kebudayaan sangat tergantung dari dukugan masyarakat pengusung kebudayaan tersebut. Tanpa dukung dari masyarakat suatu kebudayaan akan musnah ditelan zaman.

Perubahan merupakan karakteristik semua kebudayaan, tetapi tingkat dan arah perubahannya sangat berbeda-beda menurut kebudayaan dan waktunya. Faktor –faktor yang mempengaruhi cara terlaksananya perubahan didalam kebudayan tertentu mencakup sampai seberapa jauh sebuah kebudayaan mendukung dan menyetujui adanya fleksibilitas, kebutuhan-kebutuhan kebudayaan itu sendiri pada suatu waktu tertentu; dan barang kali yang terpenting dari semuanya, tingkat kecocokan (fit) diantara unsur-unsur baru dan matrik kebudayaan yang ada.

Menarik atau tidaknya suatu kebudayaan seringkali dilihat pada faktor bermanfaat atau tidaknya suatu kebudayaan terhadap masyarakat pendukungnya. Sebagai makhluk sosial, masyarakat akan mengunakan segala instrumen yang mereka miliki termasuk kebudayaan untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Dengan demikian jika suatu kebudayaan dirasa kurang bermanfaat bagi kehidupan masyarakat, maka dengan sendirinya kebudayaan tersebut akan ditinggalkan oleh pendukungnya dan lambat laun akan musnah dengan sendirinya.

Hilang atau musnahnya suatu kebudayaan tentunya mempunyai segi positif dan negatifnya, karena belum tentu kebudayaan yang telah hilang tersebut sama sekali tidak bermanfaat bagi kehidupan masyarakat, seperti pengetahuan tradisional terhadap gejala-gejala alam yang mulai dilupakan, namun saat ini dengan adanya berbagai bencana alam, orang mulai kembali mempelajari pengetahuan tradisional tersebut guna mengurangi resiko besar akibat bencana alam.

Masyarakat Tamiang sebagai mana masyarakat lain dibelahan bumi ini mengalami berbagai perkembangan juga mengalami berbagai berubahan. Salah satu perubahan tersebut adalah upacara perkawinan.

Adat dan upacara perkawinan menjadi bagian dalam suatu sistem adat istiadat masyarakat. Selain itu juga adat dan upacara perkawinan dapat dijadikan sebagai sarana yang tepat untuk memperkokoh muatan kebudayaan yang dapat didukung oleh masyarakat bersangkutan.

Keikutsertaan masyarakat dalam menyelenggarakan upacara perkawinan merupakan perlambang adanya dukungan masyarakat dalam mempertahankan kebudayaannya.

Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa masyarakat merupakan makhluk sosisal yang terus berkembang dan mengalami perubahan. Demikian pula dengan kebudayaannya tentunya akan mengalami perubahan. Begitu pula yang terjadi pada upacara perkawinan pada masyarakat Tamiang yang mengalami perubahan dari waktu ke waktu.

Upacara Perkawinan

Pada masa lalu telah menjadi adat masyarakat Tamiang bahwa orang tua mencarikan jodoh anak mereka. Hal ini begitu menentukan karena orang tua menginginkan anaknya Kawin Berimpal, dan ini merupakan kehormatan untuk keturunan istri maupun suami.

Setelah jodoh ditetapkan biasanya dilanjutkan dengan acara peminangan yang dilakukan oleh Telangke. Selanjutnya apabila pinangan diterima oleh pihak perempuan, dilakukan ikat janji (Pertunangan) dan ditetapkan lamanya masa antara ikat janji dengan pelaksanaan perkawinan. Apabila pada masa pertunangan ini salah satu pihak ingkar janji, pihak yang ingkar tersebut didenda sesuai adat. Kalau pihak laki-laki ingkar, apa yang telah diserahkan menjadi milik perempuan. Sebaliknya apabila piahk perempuan yang ingkar janji segala pemberian pihak laki-laki harus dikembalikan dua kali dari pemberian sebelumnya.

Ketika pesta perkawinan ditetapkan, maka diadakan upacara duduk Pakat yang dihadiri oleh sanak keluarga, datuk, imam dan orang tua-tua kampung. Selanjutnya diadakan pula duduk kerja, sejak awale acare sanak keluarga dari jauh maupun dari dekat pihak ibu dan ayah mulai berkumpul. Selanjutnya adalah duduk berinai, pada malam hari berinai resmi setelah disetujui oleh wali karung dan istri datuk. Calon pengantin melaksanakan malam inai dirumah masing-masing. Terhadap calon pengantin perempuan diadakanlah mandi bersiram, berendam.

Sebelum mempelai laki-laki diantar ke rumah mempelai perempuan diadakanlah upacara ngisi batil. Selanjutnya mempelai diantar ke rumah mempelai perempuan diiringi dengan shalawat nabi. Kedatangan mempelai disambut petugas pemandu kehadiran mempelai laki-laki. Sementara rombongan pengantar dipersiapkan, pengantin tetap berada dalam barisan iringan/ rombongan pengantar. Penyambutan mempelai laki-laki ini dilaukan dengan nabor beras dan madah sambutan berupa kata-kata kiasan dari seorang laki-laki tua. Adapun madah sambutan kedatangan mempelai laki-laki adalah sebagai berikut :

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,

Doa ke Allah iringan rahmat,

Selamat sejahtera limpah karunia,

Allah pengasih Maha pemurah,

Selawat ke nabi Rasul allah,

Pemberi safa,at yaumil akhirat,

Penuntun hidup beserta berkah,

Taat ke Rasul taat ke Allah,

Unggas kedidi di atas batang

Perenjak hingap di ujung ranting,

Puas menanti peganten lah datang,

Sanak keluarga turut mengiring.

Datang tuan, sampai bisan,

Serta kaum seluruh kerabat,

Teman sejawat dan handai tolan,

Sepuluh jari juga diangkat.

Kemudian rombongan penganten laki-lai disambut oleh Pencak Silat Rencah Tebang yang bermakna :

  1. Mendirikan magligai rumah tangga berarti memulai perjalanan dan perjuangan hidup baru.

  2. Memerlukan sikap waspada, mawas diri dan pembela keluarga.

  3. Gelanggang hidup adalah petarungan membangun masa depan.

  4. Menang, kalah, berhasil, kandas adalah realita hidup, namun semua itu harus dihadapi dengan tekad pantang menyerah.

  5. Cita-cita bahagia menuntut kegigihan, ketabahan dan kesabaran. Yakin bahwa Allah s.w.t yang maha pemurah dan maha berkuasa akan selalu menolong hamba-hambanya yang senantiasa memohon keridhaan-Nya.

Rencah tebang oleh masyarakat Tamiang melambangkan perjuangan membina masa depan keluarga melalui proses yang beraturan. Proses tersebut dalam acara ini dilambangkan dengan Merecah, menebang, tunu, purun, nabur lahan. Dari perlambang tersebut kedua mempelai dituntut untuk mempunyai sikap, saling merawat, saling memperhatikan, dan saling pengertian untuk menyongsong kesuksesan disegala bidang dalam mempengaruhi hidup baru ini.

Adapun prosesi acara ini dimulai dari pintu gerbang pertama dengan cara menyambut rombongan tamu seperti yang telah diuraikan di atas. Kemudian ketika rombongan penganten memasuki gerbang kedua mereka disambut dengan shalawat Badar. Pada saat kedua belah pihak yang mewakili rombongan mempelai laki-laki dan perempuan bertemu, diadakan acara Tukar Tepak (sambil menabur beras padi yang diiringi tutur sapa). Selanjutnya digelar tari ranup lampuan/tari persembahan yang merupakan tarian adat Aceh. Setelah itu dilakukan sempena penyambutan dan menyongsong mempelai laki-laki dan kaum kerabatnya. Di dalam penyambutan kaum kerabat ini dilakukan berbalas pantun antara pemantun yang dibawa oleh pihak laki-laki dengan pemantun yang disediakan oleh pihak perempuan (tuan rumah). Acara berbalas pantun ini dapat berjalan hingga 2 jam apabila yang melakukan berbalas pantun adalah mereka yang sangat ahli.

Selesai berbalas pantun mempelai laki-laki berjalan menuju pelaminan kecil dengan diiringi marhaban. Setelah mempelai laki-laki dan mempelai perempuan duduk dipelaminan kecil, dilaksanakanlah acara makan hadap-hadapan yang juga diikuti oleh keluarga kedua mempelai, undangan khusus.

Dalam prosesi ini ada satu kegiatan dimana mempelai laki-laki dan mempelai perempuan saling berebut suatu benda di dalam suatu dulang. Biasanya benda tersebut berupa potongan daging ayam bagian kepala, sayap, paha, dan bagian lainnya.

Selesai acara makan hadap-hadapan dilanjutkan dengan acara tepung tawar sejuk serasi. Acara dilanjutkan dengan acara Turai Berbisan, yaitu acara serah terima mempelai laki-laki kepada kerabat mempelai perempuan dan dilanjutkan dengan acara Gayung bersambut yaitu kata-kata sambutan dari pihak mempelai perempuan. Setelah prosesi di atas selesai kedua mempelai diantar menuju pelaminan besar.

Pada saat mempelai laki-laki duduk, bidan pelaminan menyuruh mempelai perempuan menyembah pengantin laki-laki. Pada saat itu pengantin laki-laki menyerahkan sebentuk cincin ketangan istrinya yang dinamakan Cemetok suami di pelaminan. Kemudian kedua pengantin ditepung tawar oleh sanak keluarga.

Prosesi acara menyambut pengantin laki-laki diakhiri dengan acara Mandi berdebar, yaitu acara suka ria pada keesokan hari (pagi hari), dimana mempelaki laki-laki dan mempelai perempuan dimandikan para kerabat keluarga dengan melakukan kegiatan siram menyiram air diiringi dengan tawa riang dan aturan mainnya siapapun yang disiram tidak akan marah. Kegiatan ini memberi arti bahwa ketika mereka menempuh hidup berumah tangga maka suka dan duka dijalani bersama walaupun rintangan akan menjelma.

Perubahan yang terjadi

Perubahan merupakan suatu proses alami dari suatu masyarakat. Perubahan dalam kehidupan masyarakat dapat menuju ke arah yang positif atau dapat pula mengarah kepada kemunduran sosial budaya masyarakat yang terkena perubahan tersebut. Berkenaan dengan kemunduran setelah perubahan, koentowijoyo mengatakan ada 3 kekuatan utama yang menyebabkan kemunduran sosial budaya, yaitu industrialisasi yang telah melahirkan budaya massa yang mengarah pada semangat kolektif dalam tata nilai, urbanisasi yang telah membuat nilai-nilai komunal sebuah masyarakat runtuh atau hilang, serta teknologisasi membuat masyarakat dituntut untuk menerapkan metode teknik di segala bidang.2

Upacara Perkawinan masyarakat Tamiang mengalami beberapa perubahan sesuai dengan keadaan jamannya. Ada beberpa perubahan yang dapat dilihat dan dirasakan oleh masyarakat berkaitan dengan upacara perkawinan, diantaranya adalah :

Adanya pengurangan unsur-unsur atau bagian-bagian dari upacara seperti jarang dipergunakannya lagi upacara penyambutan calon pengantin laki-laki secara lengkap seperti ditiadakannya peragaan Pencak Silat Rencah Tebang, Berbalas pantun yang dapat menghabiskan waktu sampai 2 jam, Mandi berdebar.

Penghilang ataupun pengurangan prosesi unsur-unsur upacara perkawinan pada masyarakat Tamiang terjadi karena adanya berbagai sebab salah satunya adalah banyaknya biaya yang harus dikeluarkan suatu keluarga dalam penyelenggaraan upacara perkawinan secara lengkap.

Pelaksanaan upacara dimanapun tentunya membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Oleh sebab itu, saat ini banyak orang terutama di kota-kota besar yang melaksanakan uapacara perkawinan sekedar memenuhi kewajiban agama, atau dengan kata lain melaksanakan yang penting-penting saja seperti ijab kabul.

Demikian pula yang terjadi pada masyarakat Tamiang, banyak dari mereka yang baik secara disengaja maupun tidak dengan keterbatasan biaya menghilang beberapa unsur upacara perkawinan. Pencak Silat Rencah Tebang merupakan salah satu contoh unsur upacara perkawinan yang dalam penyelenggaraannya membutuhkan biaya yang tidak sedikit paling tidak untuk membayar pemain pencak silat rencah tebang.

Selain karena biaya, pengurangan maupun penghilangan unsur-unsur upacara perkawinan juga dipengaruhi situasi dan kondisi masyarakat pada saat itu, seperti hilangnya acara berbalas pantun yang membutuhkan keahlian pemain pantun. Untuk saaat ini di masyarakat Tamiang keahlian berpantun telah mulai susah ditemui terutama pada generasi muda.

Berbalas pantun oleh sebagian besar masyarakat Tamiang, terutama generasi muda dianggap sebagai tradisi yang telah ketinggalan jaman dan tidak dapat menghasilkan materi yang mencukupi. Oleh sebab itu saat ini dalam mencari seseorang yang dapat berbalas pantun dengan bagus agak sulit. Tanpa adanya orang yang ahli berbalas pantun tentunya dengan sendirinya unsur dari upacara perkawinan pada masyarakat Tamiang akan hilang.

Selain susah mencari orang yang ahli dalam berbalas pantun, penghilangan ataupu pengurangan unsur berbalas pantun pada upacara perkawinan masyarakat Tamiang juga disebabkan oleh lamanya waktu yang digunakan dalam pelaksanaan berbalas pantun. Jika tidak disepakati terlebih dahulu antar pemain berbalas pantun, maka acara berbalas pantun tersebut dapat memakan waktu hingga 2 jama. Hal ini tentunya kurang disukai oleh para tamu undangan yang mempunyaibanyak acar lain setelah menghadiri undangan pada upacara perkawinan tersebut.

Demikianlah uraian sikat mengenai perubahan yang terjadi pada upacara perkawinan masyarakat Tamiang.

Penutup

Perubahan suatu kebudayaan memang tidak dapat dihindari oleh siapapun. Namun bukan berarti kita sebagai pendukung kebudayaan tersebut menyerah begitu saja menghadapi perubahan yang terjadi, sebab belum tentu perubahan yang terjadi dapat membawa masyarakat pendukung kebudayaan yang mengalami perubahan menjadi lebih baik dan bahagia dari pada sebelumnya.

Untuk itu guna menghindari perubahan yang berdampak negatif diperlukan berbagai usaha penyadaran masyarakat akan pentingnya menjaga kebudayaan. Tanpa usaha yang keras dan konsisten dari masyarakat,kebudayaan yang kita bangakan akan hilang dengan sendirinya.

1 Clifford Geertz, Tafsir Kebudayaan, Yogjakarta, Penerbit Kanisius, 1992

2 Irvan Setiawan, Perubahan Pola Perkawinan Suku Bangsa Aceh di Pedesaan dalam “ Jurnal Suwa No.3,” Banda Aceh, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh, 2001

0 komentar: