Rabu, 11 Februari 2009

PARIWISATA : Manfaat dan Dampaknya bagi budaya Aceh

Pendahuluan
Pariwisata merupakan salah satu sektor pembangunan yang saat ini sedang digalakkan oleh pemerintah. Hal ini disebabkan pariwisata mempunyai peran yang sangat penting dalam pembangunan Indonesia khususnya sebagai penghasil devisa negara di samping sektor migas.
Sebagai sumber devisa, pariwisata menyimpan potensi yang sangat besar. Menurut beberapa ahli pariwisata dewasa ini sudah menjadi bidang usaha atau industri terbesar ketiga setelah minyak dan perdagangan senjata. Bahkan ada pula yang mengatakan bahwa pariwisata merupakan bidang usaha terbesar kedua setelah minyak.
Apabila kita melihat trend pariwisata tahun 2020, perjalanan wisata dunia akan mencapai 1,6 milyar orang, di antaranya 438 juta orang akan berkunjung ke kawasan Asia-Pasifik dan 100 juta orang ke Cina. Melihat jumlah yang demikian besar, Indonesia yang juga memiliki potensi pariwisata perlu merebut pangsa pasar wisata tersebut.
Selain negara/pemerintah, keuntungan ekonomis dari pembangunan pariwisata di negara atau daerah tujuan wisata juga sangat dirasakan oleh masyarakat. Sebagai ilustrasi, sebuah hotel sangat memerlukan berbagai macam bahan makanan untuk memenuhi kebutuhan makanan para tamu. Untuk memenuhi kebutuhan akan bahan makanan, seperti daging, sayuran, dan buah-buahan ini biasanya hotel membeli dari masyarakat sekitar dengan memperhatikan kualitas barang. Dengan semakin banyaknya kebutuhan akan bahan makanan, maka hal ini memberi peluang dan mendorong para petani dan peternak yang berada di sekitar hotel untuk meningkatkan produksi tanpa menghilangkan kualitas hasil pertanian.
Riuhnya kegiatan pariwisata di Indonesia ternyata tidak sampai ke daerah di ujung pulau Sumatera yakni Nanggroe Aceh Darussalam. Nampaknya kebijakan pemerintah di bidang pariwisata masih belum bergeming dengan hingar bingarnya masalah rencana destinasi pariwisata di Indonesia. Pada tahun 2008 telah 10 destinasi unggulan yang menjadi tujuan Visit Indonesia Year dan pada tahun 2009 telah direncanakan 15 destinasi, tetapi Aceh belum masuk di dalamnya. Padahal daerah paling ujung pulau Sumatera ini menyimpan banyak potensi dalam berbagai aspek.
Hubungan Pariwisata dengan Kebudayaan
Pariwisata merupakan suatu fenomena yang terdiri dari berbagai aspek, seperti: ekonomi, teknologi, politik, keagamaan, kebudayaan, ekologi, dan pertahanan dan keamanan. Melalui pariwisata berkembang keterbukaan dan komunikasi secara lintas budaya, melalui pariwisata juga berkembang komunikasi yang makin meluas antara komponen-komponen lain dalam kerangka hubungan yang bersifat saling mempengaruhi (Geriya, 1996:38).
Kebudayaan sebagai salah satu aspek dalam pariwisata dapat dijadikan sebagai suatu potensi dalam pengembangan pariwisata itu. Hal ini disebabkan, dalam pengembangan pariwisata pada suatu daerah sangat terkait dengan potensi yang dimiliki oleh daerah tersebut, misalnya Nanggroe Aceh Darussalam dengan bermodalkan kekayaan kebudayaan yang dilatari oleh keunikan berbagai kebudayaan daerah yang ada di wilayahnya, Nanggroe Aceh Darussalam bisa menggunakan kebudayaan sebagai salah satu daya tarik wisatawan.
Pengembangan kepariwisataan yang bertumpu pada kebudayaan lebih lanjut diistilahkan dengan pariwisata budaya. Dengan kata lain, pariwisata budaya adalah satu jenis kepariwisataan yang dikembangkan bertumpu pada kebudayaan (Geriya, 1996: 45). Segala aspek yang berhubungan dengan pariwisata, seperti: promosi, atraksi, manajemen, makanan, cindera mata, hendaknya selalu mendayagunakan potensi-potensi kebudayaan yang ada di Nanggroe Aceh Darussalam. Dengan demikian nantinya pariwisata di Nanggroe Aceh Darussalam mempunyai ciri tersendiri yang dapat dibedakan dari pariwisata daerah lain yang bertumpu pada potensi yang lain.
POTENSI BUDAYA
Pariwisata adalah suatu gejala yang komplek, yang menyangkut manusia seutuhnya dan memiki berbagai aspek. Dari berbagai aspek yang ada, aspek yang mendapat perhatian yang paling besar adalah aspek ekonomisnya hal ini bisa dilihat dari pembahasan di atas. Dengan melihat aspek ekonomisnya, maka berkembanglah suatu konsep yaitu industri pariwisata yang merupakan suatu kegiatan pariwisata seutuhnya. Sebagai industri, pariwisata mengeluarkan produk yang akan dibeli oleh pembelinya, yakni wisatawan. Ada bermacam produk yang ditawarkan oleh industri pariwisata yang dapat dikelompokkan menjadi 3 bidang, salah satunya adalah bidang atraksi.
Bidang atraksi merupakan salah satu motif wisatawan memilih untuk berkunjung ke daerah tujuan wisata tertentu. Jadi seorang wisatawan akan berkunjung ke suatu daerah tujuan wisata untuk melihat atraksi wisata yang ada di daerah atau negara tersebut. Dengan demikian jika suatu daerah mempunyai niat untuk mengembangkan pariwisata di daerahnya haruslah memperhatikan ketersediaan atraksi wisata yang dapat menarik wisatawan untuk berkunjung ke daerah tersebut. Atraksi wisata dalam hal ini dapat berupa panorama alam, keanekaragaman Budaya, peninggalan sejarah, kehidupan masyarakat dan sebagainya.
Kekayaan budaya yang dimiliki masyarakat Nanggroe Aceh Darussalam banyak yang telah dikenal oleh masyarakat luas. Siapa yang tidak mengenal tari Saman yang indah tersebut, siapa pula yang tidak mengenal rapa’I yang menghentak-hentak dengan harmonisasi yang cukup tinggi. Di bidang kuliner, orang mulai memburu dan membicarakan Mie Aceh, Kopi Aceh, Kare Kambing yang menurut mereka kaya akan bumbu dan memiliki sensasi tersendiri. Semua itu merupakan modal bagi pengembangan industri pariwisata di Aceh.
Selain kebudayaan yang telah dikenal luas oleh masyarakat luar, masyarakat Nanggroe Aceh Darussalam juga memiliki kebudayaan yang sangat menarik untuk dijadikan atraksi budaya dalam kegiatan pariwisata, seperti; Geudeue-geudeue, Peupok Leumo, Pacu Kude, gaseng, dan lain-lain.
Dampak Pariwisata Terhadap kebudayaan
Pariwisata sebagai suatu fenomena yang terdiri dari berbagai aspek tentu akan berpengaruh terhadap aspek-aspek tersebut, termasuk kebudayaan yang merupakan salah satu aspek pariwisata. Dampak yang ditimbulkan oleh pariwisata terhadap kebudayaan tidak terlepas dari pola interaksi di antaranya yang cenderung bersifat dinamika dan positif. Dinamika tersebut berkembang, karena kebudayaan memegang peranan yang penting bagi pembangunan berkelanjutan pariwisata dan sebaliknya pariwisata memberikan peranan dalam merevitalisasi kebudayaan. Ciri positif dinamika tersebut diperlihatkan dengan pola kebudayaan mampu meningkatkan pariwisata dan pariwisata juga mampu memajukan kebudayaan. (Geriya, 1996: 49).
Paparan di atas menandakan perkembangan pariwisata dapat memberikan dampak yang positif terhadap kebudayaan. Di sini akan terjadi akulturasi kebudayaan, karena adanya interaksi masyarakat lokal dengan wisatawan. Di samping itu, kebudayaan-kebudayaan daerah akan terus berkembang. Ini disebabkan oleh adanya wisatawan (orang asing) yang datang berkunjung untuk melihat dan mengenal lebih dekat kebudayaan asli tersebut. Hal ini tentunya juga menyebabkan terjadinya penggalian nilai-nilai budaya asli untuk dikembangkan dan dilestarikan. Dengan demikian pola kebudayaan tradisional seperti tempat-tempat bersejarah, monumen-monumen, kesenian, dan adat istiadat akan tetap terpelihara dan lestari (sustainable).
Sedangkan dampak negatifnya dari pariwisata tersebut akan menyebabkan; (1) terjadinya tekanan tambahan penduduk akibat pendatang baru dari luar daerah; (2) timbulnya komersialisasi; (3) berkembangnya pola hidup konsumtif; (4) terganggunya lingkungan; (5) semakin terbatasnya lahan pertanian; (6) pencemaran budaya; dan (7) terdesaknya masyarakat setempat (Spillane, 1989:47).
Dampak positif dari kegiatan pariwisata terhadap budaya masyarakat lokal antara lain; munculnya kreativitas dan inovasi budaya, akulturasi budaya, dan revitalisasi budaya. Sedangkan dampak negatif yang sering dikawatirkan terdapat budaya masyarakat lokal antara lain; proses komodifikasi, peniruan, dan profanisasi (Shaw and Williams, dalam Ardika 2003:25.
Subadra (2006) memberikan batasan yang lebih jelas mengenai dampak sosial-budaya pariwisata. Dampak positif sosial budaya pengembangan pariwisata dapat dilihat dari adanya pelestarian budaya-budaya masyarakat lokal seperti kegiatan keagamaan, adat istiadat, dan tradisi, dan diterimanya pengembangan objek wisata dan kedatangan wisatawan oleh masyarakat lokal. Sedangkan dampak negatif sosial budaya pengembangan pariwisata dilihat dari respon masyarakat lokal terhadap keberadaan pariwisata seperti adanya perselisihan atau konflik kepentingan di antara para stakeholders, kebencian dan penolakan terhadap pengembangan pariwisata, dan munculnya masalah-masalah sosial seperti praktek perjudian, prostitusi dan penyalahgunaan seks (sexual abuse).
Apabila melihat dampak negatif dari pariwisata sebagaimana yang telah diuraikan di atas, maka wajar bila sebagian masyarakat di Nanggroe Aceh Darussalam agak keberatan terhadap pengembangan pariwisata. Sebagai muslim yang taat dalam menjalankan syariat Islam, masyarakat Nanggroe Aceh Darussalam akan selalu menjaga daerahnya dari kegiatan-kegiatan yang bertentangan dengan syariat Islam. Dalam pandangan beberapa kelompok masyarakat, kegiatan pariwisata kebanyakan bertentangan dengan syariat Islam.Walaupun tidak seluruhnya benar, namun pandangan tersebut pada akhirnya membawa dampak bagi pengembangan pariwisata di Nanggroe Aceh Darussalam.
Adanya sikap sebagian masyarakat yang menganggap pengembangan pariwisata bertentangan dengan syariat Islam pada dasarnya menjadi tantangan tersendiri bagi kita semua terutama para pengambil kebijakan pariwisata di Nanggroe Aceh Darussalam. Untuk mengantisipasinya perlu adanya perubahan strategi dalam pengembangan pariwisata di Nanggroe Aceh Darussalam. Salah satunya adalah menempatkan masyarakat bukan sebagai objek wisata yang selama ini terjadi, tetapi menempatkan masyarakat sebagai subjek pariwisata.
Dengan demikian masyarakat dalam menjalankan kegiatan pariwisata, tidak hanya berkewajiban melayani wisatawan- sebagaimana yang selama ini didengungkan oleh slogan sapta pesona, bahwa masyarakat harus menjadi tuan rumah yang baik bagi wisatawan—melainkan juga mempunyai kekuatan untuk keputusan mengenai hal-hal apa yang menjadi bagian budayanya yang dapat dikonsumsi turis.
Dengan demikian masyarakat dapat berperan aktif menjadi kontrol aktivitas pariwisata yang terjadi, termasuk menciptakan program-program paket wisata beserta sarana pendukungnya.
Penutup
Berbicara pariwisata dan budaya di Indonesia, maka pikiran kita akan tertuju pada Bali sebagai contoh sebuah daerah yang berhasil mengabungkan antara pariwisata dengan budaya. Nanggroe Aceh Darussalam yang memiliki keanekaragaman budaya pada dasarnya tidak kalah dengan Bali bahkan dapat dikatakan lebih karena memiliki keanekaragaman budaya yang lebih banyak dari beberapa suku bangsa yang menempati wilayah Nanggroe Aceh Darussalam dibandingkan Bali yang hanya terdiri dari budaya Bali. Perbedaannya hanyalah pada keikutsertaan masyarakat Bali sebagai penentu dan pelaksana kegiatan pariwisata sehingga masyarakat dapat mengontrol dan menikmati manfaat pariwisata secara langsung, bukan sebagai penonton. Sedangkan sampai saat ini masyarakat Nanggroe Aceh Darussalam masih sebagai penonton dikejauhan dalam kegiatan pariwisata. Maka tidak mengherankan adanya anggapan bahwa pariwisata tidak berguna bagi masyarakat.



DAFTAR PUSTAKA
Ardika, I Wayan (Penyunting). 2003. Pariwisata Budaya Berkelanjutan: Refleksi dan
Harapan di Tengah Perkembangan Global. Denpasar: Program Studi Magister(S2) Kajian Pariwisata, Program Pascasarjana Universitas Udayana.
Damardjati, R.S. 2001. Istilah-Istilah Dunia Pariwisata. Jakarta: Pradnya Paramita.
Geriya, Wayan. 1996. Pariwisata dan Dinamika Kebudayaan Lokal, Nasional,
Global: Bunga Rampai Antropologi Pariwisata. Denpasar: Upada sastra.
Koentjaraninggrat (Ed.). 1985. Manusia dan Kebudayaan Indonesia. Jakarta:
Djambatan.
Pitana, I Gde dan Putu G. Gayatri. 2005. Sosiologi Pariwisata: Kajian Sosiologi
Terhadap Struktur, Sistem, dan Dampak-Dampak Pariwisata. Yogyakarta:
Andi.
Sihite, Richarda. 2000. Tourism Industry (Kepariwisataan). Surabaya: SIC.
Spillane, James J. 1989. Ekonomi Pariwisata Sejarah dan Prospeknya. Cetakan II. Yogyakarta: Kanisius.
Subadra, I Nengah. 2006. “Ekowisata Hutan Mangrove dalam Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan: Studi Kasus di Mangrove Information Center, Desa Pemogan, Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar”. (tesis) S2 Kajian Pariwisata: Universitas Udayana.
Yoeti, Oka A. 1983. Komersialisasi Seni Budaya dalam Pariwisata. Bandung:
Angkasa.
Yoeti, Oka A. 1996. Pengantar Ilmu Pariwisata. Bandung: Angkasa.

0 komentar: